Entri Populer

Rabu, 19 September 2012

STRATEGI PEMBELAJARAN DAN LINGKUNGAN BELAJAR

BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Saat ini dunia pendidikan sangatlah penting bagi para penerus bangsa, dengan kata lain pendidikan merupakan kunci utama untuk membangun suatu bangsa. Tapi di Indonesia kualitas pendidikannya sangat rendah. Ada berbagai strategi  dalam pembelajaran dan lingkungan belajarnya yang perlu dirubah agar menjadi lebih efektif. Kedua hal itu sangat perlu diperhatikan, karena jika pembelajaran tersebut dilakukan secara tidak terarah dan tidak ada strategi yang tepat, maka pembelajaran tersebut tidak akan efektif. Semua waktu dan tenaga akan terbuang sia-sia jika pembelajaran tetap dilakukan, akan tetapi siswa-siswanya tidak bisa menyerap dengan baik karena strategi pembelajarannya tidak tepat dan lingkungan belajarnya yang tidak kondusif. Asesmen di kelas juga sangat penting untuk siswa, asesmen digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan mereka agar guru bisa memberikan pembelajaran yang sesuai dengan pengetahuan siswa. Itu sebabnya, dengan merubah itu semua dapat meningkatkan pembelajaran yang efektif dan bermanfaat.
Penulis akan membahas lebih terperinci tentang strategi pembelajaran yang efektif dan lingkungan belajarnya dengan merujuk pada buku karangan John W. Santrock dan Jeanne Ellise Ormrod yang bertujuan untuk menginovasi pembelajaran tersebut agar bisa bermanfaat, dapat diterima oleh siswa dengan baik, dan mencegah agar tidak ada kebosanan saat proses pembelajaran berlangsung.





1.2     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan tersebut, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mengelola kelas?
2.      Bagaimana cara menciptakan lingkungan belajar yang produktif?
3.      Apa saja strategi-strategi asesmen di kelas yang baik untuk pembelajaran?
4.      Bagaimana cara melibatkan, mengevaluasi, dan mempertimbangkan proses asesmen siswa di kelas?

1.3     Tujuan
Sesuai dengan perumusan masalah tersebut, makalah ini bertujuan untuk sebagai berikut:
1.         Pembaca dapat mengetahui apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mengelola kelas.
2.         Pembaca dapat mengetahui bagaimana cara menciptakan lingkungan yang produktif.
3.         Pembaca dapat mengetahui apa saja strategi-strategi asesmen di kelas yang baik untuk pembelajaran.
4.         Pembaca dapat mengetahui bagaimana cara melibatkan, mengevaluasi, dan mempertimbangkan proses asesmen siswa di kelas.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Apa Saja Hal yang Perlu Diperhatikan untuk Mengelola Kelas?
            Sebelum membahas apa saja hal yang perlu diperhatikan, kita harus tahu mengapa kelas harus dikelola secara efektif.
2.1.1        Mengapa Kelas Harus Dikelola Secara Efektif?
Manajemen kelas yang efektif memaksimalkan kesempatan belajar anak-anak (Evertson, Emmer, dan Worsham, 2006; Evertson dan Weinstein, 2006; Larrivee, 2005; Weinstein dan Mignano, 2007). Para ahli mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan dalam pemikiran tentang cara terbaik dalam mengelola kelas. Pandangan sebelumnya lebih menekankan perbuatan penerapan peraturan dalam mengendalikan perilaku siswa. Sedangkan pandangan baru lebih memfokuskan diri pada kebutuhan siswa dalam memelihara hubungan dan kesempatan untuk meregulasi diri (Bear, 2005a, b, pianta, 2006; Watson dan Battistich, 2006). Manajemen kelas yang mengorientasikan siswa ke arah kepasifan dan kepatuhan dengan peraturan yang ketat dapat merusak keterlibatan mereka dalam pembelajaran yang aktif, tingkat pemikiran yang lebih tinggi, dan konstruksi sosial pengetahuan (Charles dan Senter, 2005; Jones dan Jones, 2004). Menurut sejarah manajemen kelas, guru dianggap sebagai pemimpin. Dalam tren saat ini yang berpusat pada siswa, guru lebih dianggap sebagai pembimbing, koordinator, dan fasilitator ( Kauffman, dkk., 2006; Larrivee, 2005). Ketika anda mengeksplorasi berbagai aspek manajemen kelas, sadarilah pentingnya konsultasi dan kerjasama dengan anggota staf lain mengenai isu manajemen (Evertson dan Harris, 1999).
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menguatkan argument tersebut:
1.         Isu manajemen pada kelas-kelas di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah
Kelas di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah mempunyai banyak isu manajemen serupa. Pada semua tingkat pendidikan, pengelola yang baik merancang kelasw untuk mendapatkan pembelajaran yang optimal, menciptakan lingkungan yang positif untuk pembelajaran, menetapkan dan menegakkan peraturan, membuat siswa bekerjasama secara efektif menangani masalah, serta menggunakan strategi komunikasi yang baik.
Namun, prinsip-prinsip yang sama terkadang diterapkan secara berbeda di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah karena kedua jenis memiliki struktur yang berbeda (Brophy, 2006; Emmer dan Gerwels, 2006; Evertson, Emmer, dan Worsham, 2006; Weinstein, 2007). Di Sekolah Dasar, guru harus menghadapi 20-25 anak yang sama sepanjang harinya. Sedangkan, di lingkungan Sekolah Menengah Pertama / Atas,  guru harus menghadapi lima sampai enam kelompok berbeda yang terdiri sekitar 20-25 anak remaja selama 50-60 menit.
Sudah terlihat jelas bahwa di Sekolah Dasar lebih banyak waktu interaksinya dengan siswa yang sama di kelas yang kecil dan keharusan sosialisasinya dengan teman yang berbeda lebih rendah dibandingkan dengan siswa Menengah Pertama / Atas. Akan tetapi, rata-rata guru Sekolah Menengah lebih cenderung banyak yang dihadapkan berbagai jenis masalah daripada guru Sekolah Dasar.
Masalah siswa Sekolah Menengah lebih bertahan lama dan melekat sehinga sulit untuk di selesaikan. Masalah kedisiplinan juga lebih parah, siswa Sekolah Menengah lebih banyak yang sulit mematuhi aturan bahkan bertindak yang membahayakan, misalnya saja penggunaan narkotika, alkohol, seks bebas, dan sejenisnya. Siswa Sekolah Menengah lebih menuntut penjelasan terperinci dan logis tentang peraturan dan kedisiplinan, karena sebagian besar di usia remaja seperti itu mereka memiliki penalaran yang lebih maju daripada saat mereka masih berada di Sekolah Dasar.
 Perbedaan antara Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah akan terlihat saat kita akan mengeksplorasi kelas lebih lanjut tentang cara mengelola kelas secara efektif.
2.        Kelas yang padat, kompleks, dan berpotensi kacau-balau
Carol Weinstein dan Andrew Mignano (1997) menggunakan judul “Kelas yang besar, kompleks, dan berpotensi menimbulkan kekacauan” sebagai peringatan akan masalah yang mungkin terjadi. Ada enam karakteristik Walter Doyle (1986, 2006) yang mencerminkan komplektisitas sebuah ruang kelas dan bersifat potensial pada masalah.
Ø  Ruang kelas itu miltidimensional.
Ruang kelas adalah tempat untuk banyak aktivitas seperti halnya aktivitas membaca, menulis, dan matematika sampai aktivitas sosial. Guru harus memantau perkembangan siswa, tugas-tugas yang diberikan harus ada timbal-baliknya.
Ø  Aktivitas terjadi secara bersamaan.
Banyak aktivitas yang terjadi secara bersamaan. Contohnya, ada siswa yang memperhatikan gurunya, ada siswa yang menulis, bermain dengan teman lainnya, sibuk sendiri dengan aktivitasnya masing-masing dan tidak fokus pada satu aktivitas.
Ø  Hal-hal terjadi dengan cepat.
 Peristiwa yang terjadi dengan cepat di dalam kelas dan membutuhkan respon langsung. Contohnya, ketika siswa yang saling mengejek, debat karena berbeda pendapat, dan masih banyak lagi peristiwa yang terjadi dengan cepat seperti itu.
Ø  Pristiwa yang sering kali tidak dapat di prediksi.
Walaupun kita sudah merencanakan apa saja aktivitas yang akan kita lakukan pada hari itu, namun peristiwan yang tidak kita duga bisa saja terjadi. Misalnya, seperti tiba-tiba ada yang jatuh dari tangga, kakinya ada yang terkilir karena lari-lari dengan teman-temannya, LCD tiba-tiba mati ketika akan presentasi, dan kejadian yang lain.
Ø  Hanya ada sedikit privasi.
Ruang kelas adalah tempat umum dimana siswa mengobservasi bagaimana guru menangani masalah kedisiplinan, peristiwa yang tidak terduga, keadaan yang membuat diri anda stress. Sebagian besar yang terjadi pada siswa diobservasi orh siswa lain dan siswa membuat atribusi tentang apa yang terjadi. Dalam suatu kasus ketika mereka merasa guru tidak adil dalam cara mendisiplinkan seorang siswa. Dalam kasus lain mereka mungkin menghargai pekepekaannya terhadap perasaan siswa.
Ø  Ruang kelas memiliki sejarah.
Siswa mempunyai kenangan tentang kejadian sebelumnya di dalam ruang kelas. Misalnya ketika seorang siswa yang dulunya pernah dikucilkan teman-temannya karena guru mengatakan bahwa dia bodoh, atau perlakuan tidak adil yang dia terima dari guru karena ada siswa yang menjadi anak emas di kelas, masa lalu sangat berpengaruh untuk masa depan. Yang terpenting adalah bagaiman guru bisa menangani pembelajaran yang lebih baik, dan menerapkan prinsip-prinsip manajemen yang efektif .

3.        Memulai awal yang baik
Kunci utama untik mengelola komplekstisitas kelas adalah menggunakan hari-hari pertama atau minggu-minggu pertama secara maksimal. Waktu seperti sangat berharga untuk beberapa hal sebagai berikut:
1.      Mengkomunikasikan peraturan dan prosedur guru terhadap siswa dan bekerjasama untuk mematuhinya atau bisa disebut perjanjian atau kontrak.
2.      Membuat siswa terlibat secara efektif dalam semua aktivitas belajar.

4.        Menekankan pembelajaran dan suasana kelas yang positif
Walaupun terdapat keyakinan publik yang menyatakan bahwa kurangnya disiplin merupakan masalah yang paling utama di sekolah, psikologi pendidikan lebih menekankan pada cara untuk mengembangkan dan mempertahankan lingkungan kelas yang positif yang mendukung pembelajaran (Evertson, Emmer, dan Worsham, 2006; Larrivee, 2005).
Jacob Kounin (1970) sangat tertarik untuk mengetahui bagaimana guru merespon perilaku buruk siswa. Kounin sangat terkejut ketika menemukan bahwa pengelola kelas yang efektif dan tidak efektif merespon dalam cara yang sangat mirip untuk perilaku buruk. Yang dilakukan oleh pengelola yang efektif adalah pengelola aktivitas kelompok dengan jauh lebih baik daripada pengelola  yang tidak efektif.  Para peneliti psikologi pendidikan menemukan bahwa guru yang secara kompeten memandun dan menyusun aktivitas kelas terlihat lebih efektif daripada guru yang menekankan peran disiplin mereka (Brophy, 1996).

5.        Tujuan dan strategi manajemen
Ada dua tujuan utama manajemen kelas yang efektif  yaitu:
1.       Membantu siswa lebih banyak waktu untuk belajar dan lebih sedikit waktu untuk aktivitas yang tidak mengarah pada tujuan. Manajemen kelas dapat membantu memaksimalkan waktu pembelajaran guru dan siswa.
2.      Mencegah siswa mengembangkan masalah akademis dan emosional.
Jika kelas dikelola dengan baik tidak hanya membantu perkembangan pembelajaran, tetapi juga membantu mencegah berkembangnya masalah akademis dan emosional. Kelas dikelola dengan baik akan membuat siswa tetap sibuk dengan tugas yang aktif dan menantang, melakukan aktivitas yang membuat siswa menjadi terpikat dan termotivasi untuk belajar, serta menetapkan peraturan yang jelas yang harus diterima oleh siswa. Dengan demikian siswa tidak akan mengembangkan masalah akademis dan emosional.
2.1.2 Merancang Lingkungan Fisik Kelas
Ketika berpikir pengelolahan secara efektif, guru yang tidak berpengalaman terkadang melupakan lingkungan fisik. Merancang lingkungan fisik ini akan membutuhkan banyak hal.
Bagian dari merancang lingkungan fisik kelas adalah sebagai berikut:
o   Prinsip penyusunan kelas
Ada empat prinsip yang bisa dilakukan seorang guru ketika menyusun kelas:
1)      Mengurangi hambatan di area macet. Gangguan ini meliputi erea kerja kelompok, meja siswa, meja guru, dan lain-lain. Pisahkanlah area ini satu sama lain, pastikan tempat tersebut mudah didatangi.
2)      Memastikan bahwa semua siswa dapat terlihat. Tugas penting manajemen yaitu memantau siswa dengan seksama.
3)      Membuat materi pengajaran yang sering digunakan dan persediaan siswa menjadi mudah untuk di akses.
4)      Memastikan seluruh siswa bisa dengan mudah mengobservasi presentasi seluruh kelas. Tetapkanlah tempat untuk presentasi supaya siswa  tidak perlu memindah-mindahkan kursi atau menoleh.
o   Gaya penyusunan
Memikirkan jenis aktivitas pembelajaran yang bisa membuat siswa aktif dan melibatkan diri itu sangat penting. Pertimbangkanlah susunan fisik yang paling mendukung jenis aktivitas tersebut (Crane, 2001; Fickes, 2001; Weinstein, 2007).
·         Penyusunan ruang kelas standar
v  Gaya auditorium, semua siswa duduk menghadap guru.
v  Gaya berhadap-hadapan, siswa duduk menghadap satu sama lain.
v  Gaya off-set, siswa dalam jumlah kecil (3-4) duduk di meja, tetapi tidak duduk bersebrangan secara langsung dari satu sama lain.
v  Gaya seminar, siswa dalam jumlah besar (10 atau lebih) duduk dalam susunan sirkuler, empat persegi, atau bentuk U.
v  Gaya kelompok, siswa dalam jumlah kecil (4-8) bekerja dalam kelompok kecil saling berdekatan.
·         Personalisasi kelas
Menurut ahli manajemen kelas, Carol Weinstein dan Andrew Mignano (2007), ruang kelas sering kali menyerupai kamar hotel (menyenangkan), tetapi impersonal, tidak memperlihatkan apapun tentang orang-orang yang menggunakan ruang tersebut.
Anonimitas tersebut sangat benar untuk ruang kelas sekolah menengah, dimana enam atau tujuh kelas yang berbeda dapat menggunakan ruangan tersebut dalam satu hari. Untuk mengubah ruang kelas  menjadi karakteristik siswa yang menggunakan ruangan tersebut, tempellah foto-foto, karya seni siswa, ungkapan-ungkapan positif, dan hal-hal yang menarik lainnya, agar ruang kelas tidak monoton.




2.1.3 Menciptakan Lingkungan Positif untuk Pembelajaran
Siswa membutuhkan lingkungan positif untuk pembelajaran, ada strategi umum manajemen kelas untuk menyediakan lingkungan ini, cara-cara untuk menetapkan dan menegakkan peraturan secara efektif, serta strategi yang positif untuk membuat siswa bekrjasama.
1.        Strategi Umum
Strategi umum meliputi penggunaan gaya demokratis dan manajemen aktivitas kelas secara efektif.
ü  Gaya manajemen kelas yang demokratis
Strategi seperti ini dapat mendorong siswa untuk menjadi pemikir dan pelaku
yang mandiri, tetapi masih melibatkan pemantauan yang efektif. Guru yang
demokratis melibatkan siswa dalam banyak aktivitas verbal dan menunjukkan
sikap yang perhatian kepada mereka.
ü  Gaya manajemen kelas yang otoriter
Strategi ini bersifat membatasi dan menghukum. Guru yang otoriter menempatkan batas dan kendali yang tegas terhadap siswa serta memiliki sedikit pertukaran verbal dengan siswa. Siswa cenderung pasif, tidak bisa memulai aktivitas.
ü  Gaya manajemen kelas yang permisif
Memberi siswa banyak kebebasan, tetapai memberi mereka sedikit dukungan untuk mengembangkan keterampilan belajar atau mengatur perilaku mereka.

2.        Menciptakan, Mengajar, serta Menegakkan Peraturan dan Prosedur
Agar kelas berfungsi dengan lancar, diperlukan adanya peraturan dan prosedur  yang didefinisikan dengan jelas. Tanpa adanya peraturan  dan prosedur  yang didefinisikan dengan jelas, salah paham tidak dapat dihindari bisa menyebabkan kekacauan. Baik peraturan maupun prosedur adalah harapan yang dinyatakan tentang perilaku (Evertson, Emmer, dan Worsham, 2006). Peraturan berfokus pada harapan umum, khusus, atau standar untuk perilaku. Prosedur juga mengkomunikasikan harapan tentang perilaku, tetapi biasanya diterapkan untuk aktivitas tertentu atau mendefinisikan dan ditunjukkan untuk mencapai sesuatu daripada melarang perilaku tertentu atau mendefinisikan standar umum (Evertson, Emmer, dan Worsham, 2006, hlm. 22). Peraturan cenderung tidak mengubah karena peraturan menyampaikan cara fundamental  kita menghadapi orang lain, diri kita sendiri, dan pekerjaan kita. Di sisi lain prosedur bisa berubah karena rutinitas dan aktivitas di kelas berubah.
§  Mengajarkan peraturan dan prosedur
Beberapa guru senang melibatkan siswa dalam menentukan peraturan dengan harapan bahwa ini akan mendorong mereka untuk memikul tanggung jawab lebih atas perilaku mereka sendiri (Evertson, Emmer, dan Worsham, 2006). Guru mulai dengan diskusi seluruh kelas perihal peraturan kelas. Selama diskusi, guru dan siswa mengemukakan peraturan yang mungkin dapat diterapkan di kelas dan guru mencatatnya dalam OHP, papan tulis, atau kertas yang besar. Kemudian, guru dan siswa menyusunnya dalam kategori serta mengembangkan judul untuk kategori tersebut. Banyak guru kelas yang efektif menyampaikan peraturan mereka dengan jelas kepada siswa dan memberikan penjelasan tentang peraturan. Guru yang menentukan peraturan yang masuk akal, memberikan dasar pemikiran yang bisa di mengerti untuk peraturan tersebut, dan dengan menjalankan secara konsisten biasanya mayoritas kelas akan mematuhinya.
§  Membuat siswa bekerjasama
Ada tiga strategi utama untuk membuat siswa dapat bekerjasama dengan guru yaitu:
1)      Mengembangkan hubungan yang positif dengan siswa. Child Development Project (CDP) adalah program sekolah dasar yang komprehensif di mana guru dan pengurus membangun hubungan yang suportif dengan siswa serta mendorong siswa untuk mengembangkan hubungan hangat yang sama satu sama lain (Battistich dan Solomon, 1995).
2)      Membuat siswa berbagi dan memikul tanggung jawab. Beberapa ahli tentang manajemen kelas berargumen bahwa berbagai tanggung jawab dengan siswa untuk membuat keputusan kelas meningkat komitmen siswa
terhadap keputusan tersebut (Bluemenfeld, Kempler dan krajcik, 2006; Eggleton, 2001; Lewis, 2001; Risley dan Walther, 1995).
3)      Memberikan penghargaan untuk perilaku yang  pantas.
Ada beberapa pedoman untuk menggunakan penghargaaan dalam mengelola kelas sebagai berikut:
a)      Memiliki penguat yang efektif. Carilah penguat yang paling cocok untuk siswa dan sesuaikanlah penguatan tersebut dengan siswa yang mana. Misalnya penghargaan berupa pujian.
b)      Menggunakan dorongan dan pembentukan secara efektif. Jika menunggu siswa untuk tampil sempurna, mereka tidak akan pernah bisa. Misalnya petunjuk atau peringatan.

2.2  Bagaimana Cara Menciptakan Lingkungan Belajar yang Produktif?
Ada dua hal yang penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang produktif yaitu:
2.2.1  Menciptakan Lingkungan yang Kondusif untuk Belajar
Secara umum, pengelolaan kelas (class management) berarti membangun dan memelihara lingkungan kelas yang kondusif bagi pembelajaran dan prestasi siswa.Siswa dapat belajar lebih banyak di beberapa lingkungan kelas dibandingkan lingkungan kelas yang lainnya.
Menciptakan dan mempertahankan suatu lingkungan dimana para siswa selalu terlibat dalam aktivitas yang produktif dapat menjadi tugas yang sulit. Bagaimanapun juga, kita harus mengakomodasi kebutuhan unik dari banyak siswa yang berbeda, terkadang harus mengkoordinasikan beberapa aktivitas pada saat yang sama, dan harus sering mengambil keputusan cepat tentang bagaimana merespons peristiwa-peristiwa yang tak terduga (W.Doyle, 1986a). Selanjutnya, kita harus memvariasikan teknik-teknik pengelolaan kelas kita yang tergantung pada strategi-strategi pengajaran kita yang sedang berjalan;  misalnya, pendekatan pengajaran langsung dan nyata (hands-on approaches) membutuhkan teknik pengelolaan yang sangat berbeda dengan pendekatan ekspositoris (Emmet & Stough,2001). Jadi tidak mengejutkan jika banyak guru pemula menyebut pengelolaan kelas sebagai perhatian utama mereka (Evertson & Weinstein, 2006; V. Jones, 1996; Veenman, 1984).
Model umum yang baik untuk pengelolaan kelas yang efektif adalah pola pengasuhan otoritatif (authoritative parenting). Orang tua yang otoritatif cenderung melakukan hal-hal berikut :
·         Menyediaka lingkungan rumah yang penuh kasih saying dan suportif
·         Memiliki ekspetasi dan standar yang tingggi bagi perilaku anak-anak
·         Menjelaskan mengapa beberapa perilaku dapat diterima dan perilaku lainnya tidak
·        Menegakkan peraturan-peraturan rumah secara konsisten
·        Melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan
·        Menyediakan kesempatan yang sesuai usia bagi independensi  (kemandirian)
Jadi ada sekitar delapan strategi pengelolaan  umum :
·         Menciptakan pengaturan fisik yang membantu memfokuskan perhatian siswa pada pelajaran kelas dan pokok bahasan akademik
·         Menetapkan dan mempertahankan hubungan kerja yang baik dengan siswa
·         Menciptakan iklim psikologis dimana siswa merasa nyaman dan termotivasi secara intrinsic untuk belajar
·        Menetapkan batasan-batasan yang masuk akal bagi perilaku
·        Merencanakan aktivitas-aktivitas yang mendorong siswa tetap focus pada tugas
·        Terus memantau apa yang dilakukan oleh siswa
·        Memodifikasi strategi-strategi pengajaran jika perlu
·        Mempertimbangkan perbedaan individual dan perbedaan perkembangan dalam membuat keputusan pengelolaan kelas
       Menciptakan lingkungan kondusif untuk belajar diperlukan identifikasi secara khusus untuk mengimplementasikan setiap strategi sebagai berikut:
1.      Mengatur kelas
*     Aturlah prabotan dalam cara-cara yang mendorong interaksi siswa
*     Minimalkan kemungkinan distraksi
*     Aturlah kelas sedemikian rupa agar guru dapat berinteraksi dengan siswa
*     Identifikasi lokasi-lokasi yang mempermudah interaksi dengan siswa
2.      Membangun dan mempertahankan hubungan Guru-Siswa
*     Komunikasi secara rutin kepedulian dan respek kepada siswa sebagai individu
*     Ingat kepedulian dan respek lebih dari afeksi
*     Bekerja keras memperbaiki hubungan
3.      Menciptakan iklim psikologis yang efektif
*     Bangunlah suasana yang berorientasi tujuan
*     Komunikasi
*     Berilah siswa kesempatan untuk mengendalikan kelas
*     Minimalkan persaingan antara siswa
*     Tingkatkan rasa kebersamaan
4.      Menetapkan batasan
*     Tetapkan batasan peraturan dan prosedur di awal tahun
*     Sajikan peraturan dan prosedur secara informasional
*     Tinjaulah peraturan tersebut
*     Tegakkan aturan secara konsisten
5.      Merencanakan aktivitas yang membuat siswa focus pada tugas
*     Pastikanlah siswa terlibat secara produktif
*     Pilihlah tugas dengan tingkat kesulitan yang sesuai dengan pengetahuan
6.      Memonitor apa yang dilakukan siswa
7.      Memodifikasi strategi pengajaran
8.      Mempertimbangkan perbedaan individual dan perkembangan
2.2.2  Menyikapi Perilaku yang Tidak Sesuai
Walaupun guru telah berusaha, siswa terkadang tetap saja berperilaku dalam cara-cara yang tidak diinginkan.Guru yang efektif tidak hanya merencanakan dan menstruktur kelas untuk meminimalkan masalah perilaku yang potensial, tetapi juga secara aktif menyikapi perilaku yang tidak sesuai (misbehaviors) yang benar-benar terjadi (W.Doyle, 1990).
Untuk tujuan pembahasan, kita akan mendefinisikan misbehavior sebagai tindakan apapun yang dapat mengganggu aktivitas belajar di kelas dan aktivitas kelas yang direncanakan, membahayakan keselamatan fisik atau kenyamanan psikologis satu atau beberapa siswa, atau melanggar moral dan standar etika dasar. Beberapa misbehavior di kelas relatif kecil yang tidak berdapak jangka panjang pada kesuksesan siswa.Perilaku seperti berbicara di luar giliran, menulis catatan kecil ke teman sekelas selama pelajaran berlangsung, atau mengumpulkan tugas setelah batas waktu-khususnya jika perilaku tersebut terjadi sekali-sekali saja-umumnya termasuk dalam kategori ini. Misbehavior lainnyajauh lebih serius, ketika mereka mengganggu proses pembelajaran atau ketenangan seorang atau beberapa siswa. Misalnya, ketika siswa berteriak ke arah guru, memukul teman sekelas, atau menolak berpartisipasi  dalam aktivitas kelas, maka pebelajaran di kelas-terutama bagi pihak yang bersalah dan seringkali juga pembelajaran  dari siswa-siswa lain-dapat terpengaruh secara negative, dan dengan demikian juga mempengaruhi kelas secara keseluruhan.
Sebagai guru, kita harus merencanakan terlebih dahulu bagaimana menyikapi berbagai misbehavior yang mungkin kita di kelas. Meskipun kita tentu saja harus konsisten dalam konsekuensi (baca: hukuman) yang kita jatuhkan atas pelanggaran peraturan, beragam strategi dapat digunakan untuk mengurangi perilaku kontrapoduktif dalam jangka panjang. Kita akan meneliti enam strategi tersebut, yang masing-masing cocok untuk situasi yang berbeda: mengabaikan suatu perilaku (ignoring behavior), memberi isyarat ke siswa (cueing), membahas masalah secara pribadi dengan siswa, mengajarkan strategi self-regulation, berunding dengan orang tua, dan melakukan intervensi sistematik yang telah direncanakan sebelumnya.
*        Mengabaikan Perilaku
Dalam beberapa kesempatan, tindakan terbaik kita adalah tidak bertindak, paling tidak bukan sesuatu yang bersifat disipliner (G. A. Davis & Thomas, 1989;W. Doyle, 2006). Misalnya, pertimbangkan situasi berikut ini:
*     Dimitra jarang melanggar peraturan kelas. Namun suatu hari, setelah guru selesai menginstruksikan siswa untuk tetap bekerja secara tenang dan sendiri-sendiri, guru melihat dia berbisik kepada seorang gadis di sebelahnya. Tidak ada siswa lain yang memperhatikan bahwa Dimitra mengabaikan perintah guru. 
*     Herb ceroboh di laboratorium kimia dan tanpa sengaja menghantam kotak cairan kecil. Dia segera meminta maaf dan membersihkan tempat tersebut.
Akankah perilaku ini menggangggu prestasi akademik Dimitra? Apakah perilakunya akan menjalar ke siswa-siswa lainnya? Mungkin tidak.
Ketika kita menghentikan aktivitas mengajar kita untuk mengatasi misbehavior, kendati selama beberapa detik saja, kita berisiko mengganggu momentum aktivitas dan malah enarik perhatian siswa ke teman sekelas mereka yang berperilaku tidak sesuai itu.Jika kita merespons setiap kali seseorang bersikap nakal, tindakan kita mungkin lebih mengganggu dibandingkan tindakan yang coba kita hentikan.Selanjutnya, dengan menarik perhatian kelas ke perilaku misbehavior seorang siswa, kita malah sebenarnya memberi penguatan terhadap perilaku tersebut.
Berikut ini beberapa situasi umum dimana mengabaikan perilaku mungkin merupakan tindakan yang paling bijaksana :
·         Ketika perilaku tersebut jarang terjadi dan mungkin tidak akan diulangi
·         Ketika perilaku itu cenderung tidak menular ke siswa-siswa lain
·         Ketika kondisi-kondisi yang tidak biasa (seperti hari terakhir sekolah sebelum liburan) memunculkan perilaku yang tak sesuai hanya ntuk sementara waktu
·         Ketika perilaku tersebut wajar bagi kelompok usia tertentu (mis., anak-anak TK menjadi cemas setelah duduk selama beberapa saat)
·         Ketika hasil perilaku (yi., konsekuensi alamiahnya) tidak cukup menyenangkan untuk mencegah siswa untuk mengulangi perilaku tersebut
·         Ketika perilaku tersebut tidak mengganggu pembelajaran di kelas. (G. A. Davis & Thomas, 1989; W. Doyle, 1986a, 2006; Dreikurs & Cassel, 1972; Munn et. al., 1990; Silberman & Wheelan, 1980; Wynne, 1990)
Perilaku Dimitra cenderung tidak menyebar ke teman-teman sekelasnya karena mereka tidak melihatnya dan mungkin bukan contoh menyontek karena terjadi sebelum dia mulai mengerjakan tugas tersebut.Dalam situasi ini, mengabaikan misbehavior mungkin merupakan langkah terbaik.
*        Memberi Isyarat kepada Siswa
Dalam beberapa situasi, perilaku yang taka da kaitannya dengan pelajaran, meskipun tidak serius, benar-benar mengganggu pembelajaran teman sekelas dan harus dicegah. Pertimbangkan situasi berikut ini sebagai contohnya:
Guru telah memisahkan kelasmu menjadi kelompok-kelompok kecil untuk latihan belajar kooperatif. Sebuah kelompok tampak lebih tertarik membahas acara dansa sekolah yang akan dating ketimbang menyelesaikan tugas yang diberikan. Kelompok tersebut tidak mengalami kemajuan seperti kelompok lain dan mungkin tidak akan menyelesaikan tugas tersebut jika para anggotanya tidak segera bekerja.
Wali kelas yang efektif menangani masalah perilaku minor semacam itu semulus mungkin: mereka tidak menghentikan pelajaran, mengalihkan perhatian siswa lain, atau meminta perhatian siswa ke perilaku yang ingin mereka hentikan itu ( W. Doyle, 1990; Emmer, 1987). Di banyak kasus, mereka menggunakan isyarat (cueing): Mereka membiarkan siswa tahu, melalui bentuk sinyal, bahwa misbehavior tersebut mendapat sorotan dan harus dihentikan.
Berbagai macam isyarat yang mungkin-kedipan, bahasa tubuh, berdiri berdekatan dengan siswa (physical proximity), pengingat verbal yang pendek,  dan sebagainya-yang dapat membuat siswa kembali focus pada tugas dan aktivitas di kelas. Idealnya, kita harus memfokuskan perhatian siswa pada apa yang seharusnya dilakukan, bukan pada apa yang tidak sedang dilakukan (Emmer et.al., 2000; Good & Brophy, 1994). Selanjutnya, meskipun permintaan tidak langsung seringkali efektif bagi siswa yang leih tua, permintaan yang lebih eksplisit mungkin penting bagi anak yang lebih muda.
*        Membahas Masalah secara Pribadi dengan Siswa
Terkadang isyarat di kelas tidak cukup untuk mengubah misbehavior siswa. Pertimbangkan situasi berikut ini:
Alonzo hamper selalu terlambat beberapa menint ke kelas aljabar periode ketiga. Ketika akhirnya tiba, dia membutuhkan dua atau tiga menit lagi untuk mengeluarkan buku teksnya dan materi kelas lainnya dari tasnya. Guru seringkali harus mengingatkan dia tentang pentingnya dating tepat waktu, namun perilaku terlambatnya tersebut berlanjut.
Dalam situasi seperti  itu, berbicara secara pribadi dengan siswa adalah langkah logis selanjutnya. Diskusi harus dilakukan secara pribadi karena beberapa alasan.Pertama, seperti ditulis sebelumnya, meminta perhatian teman sekelas ke perilaku yang bermasalah mungkin malah lebih memperkuat perilaku misbehavior itu ketimbang memperlemahnya. Atau, sebaliknya, perhatian teman sekelas mungkin menyebabkan seorang siswa merasa sangat malu atau terhina-perasaan yang mungkin membuat siswa terlalu cemas tentang keberadaannya di masa mendatang.  Terakhir, ketika kita menghabiskan terlalu banyak waktu di kelas untuk mengurusi misbehavior seorang siswa, siswa-siswa lainnya cenderung misbehave juga (W. Doyle, 2006; Emmer & Gerwels, 2006; Scott & Bushell, 1974).
Percakapan dengan siswa-siswa secara perorangan memberi kita, sebagai guru, suatu kesempatan untuk menjelaskan mengapa perilaku-perilaku tertentu tidak dapat diterima dan harus dihentikan.Seperti ditulis sebelumnya, siswa lebih cenderung mematuhi peraturan ketiak mereka memahami alasan dibalik peraturan tersebut. Selanjutnya, percakapan guru-siswa memberi kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan mengapa mereka  bersikap seperti itu. Penjelasan siswa terkadang dapat memberi petunjuk tentang bagaimana cara terbaik mengatasi perilaku mereka dalam jangka panjang.
Meski demikian, siswa tidak akan selalu memberikan penjelasan yang menghasilkan solusi logis seperti itu. Dalam kondisi seperti itu, sangat penting bahwa kita tidak tergoda untuk “adu kekuatan”-suatu situasi dimana seseorang menang karena mendominasi yang lainnya dalam cara tertentu (Diamond, 1991; Emmer et. al., 2000;). Beberapa strategi yang dapat meminimalkan kemungkinan adu kekuatan adalah:
·         Bicaralah dengan tenang dan tidak berbelit-belit, dengan menggambarkan masalah sebagaimana yang anda lihat
·         Dengarkan secara empatik apa yang dikatakan siswa, dengan menerima secara terbuka perasaan dan opini siswa
·         Rangkumlah pa yang menurutmu telah dikatakan oleh siswa, dan mintalah klarifikasi jika dibutuhkan
·         Jelaskan efek-efek perilaku bermasalah tersebut, termasuk reaksimu terhadap perilaku tersebut
·         Berilah siswa suatu pilihan di antara dua atau beberapa opsi yang dapat diterima
·         Khususnya ketika bekerja dengan seorang remaja, cobalah mengidentifikasi sebuah solusi yang memungkinkan siswa mempertahankan kredibilitas di mata temen-temannya (Colvin, Ainge, & Nelson, 1997;Emmer et.al., 2000; Keller & Tapasak, 2004; Lane et. al. 2006)
Pada akhirnya, kita harus mengomunikasikan harapan kita terhadap prestasi siswa di sekolah dalam jangka panjang, keprihatinan kita bahwa misbehavior tersebut mengganggu tercapainya harapan itu, dan komitmen kita untuk bekerja sama dengan siswa guna mengatasi masalah tersebut.
*        Mengajarkan Strategi-strategi Pengaturan Diri
Ketika para siswa mengekspresikan keprihatinan mereka sendiri akan perilaku bermasalah mereka, mengajarkan strategi-strategi pengaturan diri (self-regulation) seringkali membantu. Pertimbangkan situasi-situasi berikut ini sebagai contohnya :
Georgia sering berbicara tanpa ditunjuk. Dia suka menjawab pertanyaan-pertanyaan guru dengan gaya ceplas-ceplos, yang mencegah orang lain menjawabnya terlebih dahulu. Dia menginterupsi dengan kasar pendapat siswa lain dengan sudut pandangnya sendiri. Dan dia memulai percakapan dengan teman sekelas pada waktu-waktu yang tidak tepat.Dalam beberapa kesempatan, guru berbicara dengan Georgia, dan dia selalu berjanji untuk lebih mengendalikan diri di lain waktu.Perilakunya membaik selama sehari, namun setelah itu dia kembali lagi seperti semula.Cara Georgia yang berlebihan dalam berinteraksi di kelas mengganggu pembelajaran teman-teman sekelasnya. Pemberian isyarat dan diskusi pribadi belum membawa perbaikan apa pun. Namun, Georgia punya modal yang baik: dia ingin mengubah perilakunya.
Dalam bagian ini, kita meneliti berbagai macam strategi untuk meningkatkan perilaku yang self-regulated, beberapa di antaranya mungkin berguna bagi Georgia. Self-monitoring terutama berguna ketika siswa membutuhkan uji realitas tentang keseriusan masalah tersebut.Georgia mungkin tidak menyadari seberapa sering dia menghalangi teman sekelasnya berbicara; jadi kita mungkin memintanya membuat tanda contreng di selembar kertas setiap kali dia berbicara tanpa izin. Dalam kenyataan, masalah perilaku Georgia seringkali dapat diselesaikan dengan baik melalui self-monitoring saja (Broden, Hall & Mitts, 1971; K. R. Harris, 1986; Mace & Kratochwill 1988).
Jika self-monitoring tidak berhasil, self-instruction mungkin membantu Georgia menahan diri ( self-restraint) dalam diskusi kelas:
1.      Kancing mulutku
2.      Angkat tanganku
3.      Tunggu hingga namaku disebut
Kemudian Georgia juga bisa menggunakan self-imposed contingencies (kontingensi yang dijatuhkan sendiri) untuk membangkkitkan motivasi mereka sendiri. Georgia mungkin memberi dirinya lima nilai di awal sekolah dan kemudian mengurangi satu nilai setiap kali dia berbicara tanpa ditunjuk.
Dengan mengakumulasikan sejumlah poin tertentu, para siswa mendapat kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang disukainya (sebagai hadiah dari guru).
Strategi self-regulation dapat membantu kita menghindari adu kekuatan dengan siswa-siswa yang bermasalah.Strategi ini juga meningkatkan perasaan self-determination siswa dan konsekuensinya juga meningkatkan motivasi intrinsic mereka untuk belajar dan berprestasi di kelas.Selanjutnya, teknik self-regulation dapat bermanfaat bagi siswa dalam jangka panjang, dengan meningkatkan perilaku-perilaku produktif yang cenderung berlangsung lama setelah siswa telah berpindah dari kelas atau sekolah tertentu.Dan ketika kita mengajari siswa untuk memonitor dan memodifikasi sendiri perilaku mereka tanpa bergantung pada usaha kita, kita menjadi bebas untuk melakukan hal-hal lainnya-misalnya mengajar.
*        Berunding dengan Orangtua
Berunding dengan orang tua khususnya penting ketika masalah perilaku siswa menunjukkan suatu pola sepanjang waktu dan memiliki implikasi serius bagi kesuksesan akademik atau sosialnya dalam jangka waktu panjang.Dalam beberapa contoh, panggilan telpon sederhana mungkin cukup (Emmer et. al., 2000).
*        Melakukan Intervensi yang Terencana dan Sistematis
Terkadang siswa mungkin tidak bersedia atau tidak mampu mengubah perilaku mereka sendiri.Dan karena satu alasan tertentu, berkonsultasi dengan orangtua mungkin tidak menghasilkan solusi yang efektif.
Ketika suatu misbehavior mengganggu pembelajaran dan prestasi siswa lain, dan ketika strategi-strategi sederhana tidak produktif, intervensi yang intensif dan sistematis mungkin berhasil. Selain itu ada situasi-situasi lain dimana strategi ini dapat diterapkan yaitu ketika misbehavior terus berlanjut selama suatu periode waktu dan sangat mengganggu pembelajaran siswa, pendekatan lain yang kurang intensif tidak efektif, dan siswa tampaknya tidak bersedia atau tidakdapat menggunakan teknik-teknik self-regulation.          

2.3 Apa Saja Strategi-strategi Asesmen di Kelas yang Baik untuk Pembelajaran?
Asesmen adalah proses mengamati sebuah sampel dari perilaku seorang siswa dan mengambil kesimpulan tentang pengnetahuan dan kemampuan siswa tersebut.
2.3.1   Beragam Bentuk Asesmen Pendidikan
Adapun beragam bentuk asesmen pendidikan yaitu:
v  Asesmen Informal vs Asesmen Formal
Asesmen Informal melibatkan pengamatan spontan dan tak terencana tentang sesuatu yang dikatakan atau dilakukan siswa di kelas. Misalnya, ketika Mitch bertanya, “Bagaimana mungkin orang-orang di Australia tidak jatuh ke ruang angkasa?” dia mengungkapkan kesalahpahaman tentang gravitasi. Dan ketika Jaffa selalu mengedipkan mata di depan papan tulis, kita mungkin penasaran kalau-kalau dia perlu bertemu dokter mata. Sebaliknya, Asesmen Formal direncanakan sebelumnya dan digunakan untuk tujuan tertentu, mungkin untuk menentukan apa yang telah dipelajari para siswa dari unit geografi atau apakah mereka dapat menerapkan dalil Pitagoras untuk masalah sehari-hari. Asesmen Formal bersifat formal dalam arti bahwa ada waktu tertentu yang diluangkan untuk asesmen tersebut, dan ditujukan untuk menghasilkan informasi tentang tujuan pengajaran tertentu atau standar isi.
v  Asesmen Tertulis vs Asesmen Performa
Terkadang seorang guru ingin memilih Asesmen Tertulis (paper-pencil assesment), dimana seorang guru menyajikan pertanyaan untuk dijawab, topik-topik untuk dibahas, atau masalah unuk dipecahkan, dan siswa harus menulis jawaban mereka di kertas. Namun kita juga mungkin menemukan kegunaan Asesmen Performa, dimana siswa mendemonstrasikan (menampilkan kemampuan mereka, misalnya dengan memberikan presentasi lisan, melompati papan loncat, atau mengidentifikasi asam basa di laboratorium kimia)
v  Asesmen Tradisional vs Asesmen Otentik
Asesmen Tradisional berfokus pada pengukuran pengetahuan dan keterampilan dasar secara relatif terpisah dari tugas-tugas yang biasanya ditemukan di dunia luar. Contohnya adalah kuis ejaan, soal cerita matematika, dan tes kebugaran fisik. Namun pada akhirnya siswa harus mampu mentransfer pengetahuan dan kemampuan mereka ke tugas-tugas kompleks di luar kelas.
Sementara Asesmen Otentik berfokus pada pengukuran pengetahuan dan keterampilan siswa dalam sebuah konteks kehidupan nyata. Di beberapa situasi, asesmen otentik melibatkan kertas dan pensil. Misalnya, kita harus meminta siswa menulis sebuah surat kepada teman atau mengembangkan sebuah koran sekolah. Namun di berbagai kasus, asesmen otentik didasarkan pada peforma tak tertulis dan terintegrasi erat dengan pengajaran. Misalnya, kita mungkin meminta siswa memanggang kue, bercakap-cakap dalam bahasa  asing, atau memarkir mobil tepat pada posisinya. Sebagai guru, kita harus mempertimbangkan apa yang seharusnya mampu dilakukan para siswa ketika mereka bergabung dengan dunia orang dewasa, dan praktik asesmen kita harus dalam batasan tertentu, mencermikan tugas-tugas kehidupan nyata tersebut.
v  Tes terstandarisasi vs. Asesmen yang dikembangkan guru
Terkadang asesmen kelas mencakup tes yang dikembangkan oleh para ahli penyusun tes dan dipuplikasikan untuk digunakan di berbagai sekolah dan kelas. Tes-tes tersebut yang umumnya disebut Tes Terstandarisasi, dapat berguna dalam menilai (asses) prestasi umum dan tingkat kemampuan siswa. Namun ketika kita ingin menilai pembelajaran dan pencapaian siswa yang terkait dengan sasaran-sasaran pengajaran tertentu, misalnya apakah siswa telah menguasai pembagian panjang atau biasanya akan menyusun instrumen asesmen yang dikembangkan guru (teacher-develop assesment instruments)
v  Asesmen Acuan Kriteria vs Asesmen Acuan Norma
Asesmen Acuan Kriteria (criterion-referenced assesment) adalah instrumen asesmen yang dirancang untuk menentukan apa yang telah dan belum dicapai siswa relatif terhadap standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sementara Asesmen Acuan Norma (norm-referenced assesment) menjelaskan seberapa baik siswa dibandingkan dengan orang lain yang berusia sama atau berada di tingkat yang sama.
2.3.2  Fungsi Asesmen untuk Berbagai Tujuan
Dalam beberapa kesempatan, kita akan terlibat dalam evaluasi formatif, yang menilai apa yang diketahui dan dapat dilakukan siswa sebelum atau selama pengajaran. Evaluasi formatif yang berkelanjutan dapat membantu kita menentukan apa yang telah diketahui dan diyakini siswa tentang topik yang akan dibahas, apakah mereka membutuhkan praktek lebih lanjut untuk keterampilan tertentu dan sebagaianya, dan kita dapat mengembangkan atau memperbaiki rencana pelaksanaan pengajaran (RPP) kita.
Di saat-saat lain, kita akan terlibat dalam evaluasi sumatif, dengan melakukan asesmen setelah pengajaran dalam rangka membuat keputusan akhir tentang apa yang telah dicapai siswa. Evaluasi sumatif digunakan untuk menentukan apakah siswa telah menguasai isi suatu pelajaran atau unit, berapa nilai akhir yang harus kita berikan, siswa mana yang layak naik kelas, dan sebagainya. Dengan mengingat dua jenis evaluasi dasar ini, mari kita pikirkan bagaimana kita dapat menggunakan asesmen pendidikan untuk meningkatkan pembelajaran, memandu pembuatan keputusan pengajaran, mendiagnosa masalah pembelajaran dan performa, meningkatkan persatuan diri (self-regulation) atau memutuskan apa yang akhirnya telah dipelajari siswa.

a.         Meningkatkan Pembelajaran
Saat melakukan evaluasi formatif untuk mengembangkan atau memodifikasi rencana pelaksanaan pengajaran (RPP), kita jelas sedang menggunakan asesmen untuk memfasilitasi pembelajaran siswa. Namun evaluasi sumatif dapat mempengaruhi pembelajaran juga, seringkali dalam cara-cara berikut ini:
-          Asesmen dapat memotivasi siswa untuk belajar. Rata-rata siswa mempelajari materi kelas lebih banyak, meninjaunya lebih sering dan mempelajarinya lebih baik ketika mereka diberitahu bahwa mereka akan diuji atau memiliki tanggung jawab terhadap materi tersebut, alih-alih hanya disuruh untuk mempelajarinya.
Namun, bagaimana siswa dinilai sama pentingnya dengan apakah mereka dinilai. Asesmen sangat efektif sebagai motivator ketika memakai acuan kriteria, sejalan dengan tujuan dan sasaran pengajaran, serta menanatang siswa untuk menampilkan performa terbaik mereka. Self-efficary dan atribusi siswa tentu saja memengaruhi persepsi mereka terhadap tantangan itu: siswa perlu yakin bahwa kesuksesan di suatu tugas sangat mungkin jika mereka mencurahkan usaha yang memadai dan menggunakan strategi yang tepat. Meskipun asesmen rutin di kelas dapat sangat memotivasi, kita harus ingat bahwa dalam dan dari dirinya sendiri, asesmen itu adalah motivator ekstrinsik. Jadi asesmen mungkin mengarahkan perhatian siswa ke arah tujuan performa dan mengikis setiap motivasi intrinsik untuk belajar. Asesmen cenderung mendorong tujuan performa ketika siswa memandangnya terutama sebagai evaluasi terhadap performa mereka, bukan mekanismenuntuk membantu mereka menguasai pokok bahasan di kelas.

-          Asesmen dapat memengaruhi proses-proses kognitif tertentu di dalamnya siswa terlibat. Siswa mengambil kesimpulan tentang tujuan pengajaran kita sebagian dari cara kita menilai pembelajaran mereka. Jadi tugas asesmen yang berbeda dapat membuat mereka belajar secara berbeda misalnya siswa biasanya akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk mempelajari hal-hal yang mereka pikir akan diangkat dalam asesmen ketimbang hal-hal yang mereka pikir tidak akan tercangkup dalam asesmen. Bagaimana kita menilai pembelajaran siswa juga cenderung mempengaruhi pandangan mereka tentang sifat berbagai mata pelajaran yaitu keyakinan epistemologis mereka. Misalnya jika kita memberi kuis yang menilai pengetahuan tentang fakta-fakta tertentu, siswa cenderung menyimpulkan bahwa suatu mata pelajaran adalah sekumpulan fakta yang tak terbantahkan. Sebaliknya jika kita meminta untuk memilih suatu posisi dalam sebuah isu kontroversial dan menjustifikasi (membenarkan) posisi mereka dengan bukti dan logika, kita memberi mereka pesan yang sangat berbeda: mata pelajaran di kelas melibatkan sekumpulan pemahaman yang terintegrasi yang harus didukung dengan penalaran dan bisa berubah sepanjang waktu.

-          Asesmen dapat berperan sebagai pengalaman belajar dalam dan dari dirinya sendiri. Umumnya proses menyelesaikan suatu asesmen mengenai materi kelas membantu siswa mempelajari materi itu secara lebih baik, khususnya bila tugas-tugas asesmen itu meminta siswa mengelaborasi materi itu dengan cara tertentu. Namun ada dua kualifikasi yang penting. Pertama, asesmen membantu siswa mempelajari hanya materi yang secara spesifik terkait dengannya. Kedua, ketika menyajikan informasi yang tidak benar mengenai sebuah asesmen (sebagaimana sering kita lakukan dalam pertanyaan benar-salah dan pilihan ganda), siswa mungkin pada akhirnya mengingat misinformasi itu sebagai benar alih-alih salah. Untungnya misinformasi semacam itu tidak terlalu berdampak besar pada pemahaman siswa di kemudian hari.

-          Asesmen dapat memberi siswa umpan balik yang berharga tentang apa yang telah dan belum mereka kuasai. Cuma mengetahui nilai akhir seseorang pada sebuah tes atau tugas tidak cukup membantu. Untuk memfasilitasi pembelajaran siswa dan akhirnya meningkatkan self-efficacy mereka guna menguasai pokok bahasan umpan balik asesmen harus mencakup informasi konkret tentang di titik mana siswa berhasilm di titik mana siswa mengalami kesulitan, dan bagaimana mereka memperbaiki performanya.

b.        Memandu Pembuatan Keputusan Pengajaran

Baik evaluasi formatif maupun sumatif dapat memandu pembuatan keputusan pengajaran. Setiap evaluasi sumatif yang selalu kita hadapi, misalnya ujian negara bagian tahunan tentang keterampilan dasar harus memandu kita ketika kita memprioritaskan topik dan keterampilan yang menjadi fokus kita. Kemudian setelah kita mengidentifikasi prioritas, evaluasi formatif dapat membantu kita menentukan secara tepat darimana memulai pengajaran. Dan evaluasi formatif di sepanjang sebuah pelajaran atau unit dapat memberi kita informasi yang berkelanjutan tentang tepat-tidaknya tujuan pengajaran serta efektifitas strategi pengajaran kita.
Misalnya, jika kita menemukan bahwa hampir semua siswa menyelesaikan tugas dengan cepat dan mudah, kita mungkin menetapkan tujuan sedikit lebih tinggi. Jika kita menemukan bahwa banyak siswa mengalami kesulitan dengan materi yang kita berikan di kelas, kita mungkin akan mencoba pendekatan pengajaran yang berbeda. Mungkin pendekatan yang lebih konkret, langsung dan nyata (hands-on approach)

c.         Mendiagnosis Masalah Pembelajaran dan Performa
Banyak tes terstandarisasi yang dirancang secara khusus untuk mengidentifikasi kebutuhan akademik, sosial, dan emosional khusus yang dimiliki beberapa siswa. Sebagian besar dari tes ini membutuhkan pelatihan eksplisit dalam penggunaannya serta sering dijalankan dan ditafsirkan oleh peara spesialis (psikolog sekolah, pembimbing, ahli patologi bahasa, dan lain-lain) lazimnya, tes cenderung memakasi acuan norma ketimbang acuan kriteria dalam rangka mengidentifikasi siswa-siswa yang berada di atas atau di bawah teman seusianya dalam hal kemampuan atau karakteristik tertentu. Asesmen yang dikembangkan guru juga dapat menyediakan informasi diagnostik, khususnya ketika asesmen menunjukkan di titik mana siswa salah dan mengapa. Dengan kata lain, asesmen yang dikembangkan guru dapat dan idealnya harus memberi informasi yang dapat digunakan untuk membantu siswa memperbaiki performanya.
d.        Meningkatkan Pengaturan Diri
Self-monitoring (kesadaran siswa tentang seberapa baik performa mereka di kelas) dan evaluasi diri (usaha usiswa untuk menilai performa mereka secara akurat) merupakan hal yang penting. Satu fungsi penting lainnya dari praktik-praktik asesmen kelas seharusnya adalah membantu siswa terlibat dalam proses-proses pengaturan diri semacam itu.


e.         Menentukan Apa yang telah Dipelajari Siswa
Kita biasanya harus menggunakan asesmen formal untuk menentukan apakah siswa telah mencapai tujuan pengajaran atau memenuhi standar isi tertentu. Informasi tersebut sangat penting jika kita menggunakan pendekatan pembelajaran tuntas; hal itu juga penting ketika kita menetapkan nilai akhir. Pembimbing dan pengurus sekolah juga bisa  menggunakan hasil asesmen untuk membuat keputusan penempatan (placement).
2.3.3        Asesmen Informal, Asesmen Tertulis,  dan Asesmen Performal
1.        Asesmen Informal
Dari pengamatan kita sehari-hari tentang perilaku siswa, seringkali kita dapat menarik kesimpulan tentang apa yang telah dan belum dipelajari siswa serta membuat keputusan yang masuk akal tentang bagaimana melaksanakan pengajaran di masa mendatang. Tentu saja kita dapat belajar banyak dari apa yang dikatakan siswa selama di sekolah; misalnya, kita dapat melakukan hal-hal berikut ini:
-          Ajukan pertanyaan selama pelajaran berlangsung
-          Dengarkan apa dan seberapa banyak siswa berkontribusi terhadap diskusi yang melibatkan seisi kelas atau kelompok kecil; buatlah catatan tentang pertanyaan yang mereka ajukan
-          Amati interaksi siswa dengan teman-temannya di kelas, saat makan siang, atau di tempat bermain
-          Mintalah siswa menulis catatan harian atau mingguan dalam jurnal pribadi
Kita juga dapat memperoleh informasi dari perilaku nonverbal siswa; misalnya, kita dapat melakukan hal-hal berikut ini:
-          Amati seberapa baik siswa mengerjakan tugas-tugas yang bersifat fisik
-          Lihatlah frekuensi relatif dari perilaku on-task dan off-task siswa; carilah pola-pola kapan siswa berperilaku off-task
-          Identifikasilah jenis-jenis aktivitas dimana siswa terlibat secara sukarela
-          Amati bahasa tubuh yang mungkin mencerminkan perasaan siswa tentang tugas kelas tertentu
Asesmen informal memiliki beberapa manfaat. Pertama dan yang utama adalah asesmen ini memberi kita umpan balik yang berkesinambungan tentang efektivitas tugas dan aktivitas mengajar dalam suatu hari. Kedua, mudah disesuaikan dengan segera; misalnya ketika siswa mengungkapkan miskonsepsi tentang topik tertentu, kita dapat mengajukan pertanyaan tindak lanjut yang menjajaki keyakinan dan proses penalaran mereka. Ketiga, asesmen internal memberikan informasi yang mungkin mendukung ataupun mempertanyakan data yang kita peroleh dari asesmen yang lebih formal seperti tes-tes tertulis. Terakhir, pengamatan yang berkesinambungan terhadap perilaku siswa memberikan petunjuk tentang faktor sosial, emosionalm dan motivasional yang memengaruhi performa siswa di kelas dan seringkali menjadi satu-satunya sarana praktis bagi kita untuk menilai tujuan-tujuan seperti “menunjukkan kesopanan” atau “menikmati membaca.”
Ø  Karakter RSVP pada Asesmen Informal
Ketika kita memperoleh informasi tentang karakteristik dan prestasi siswa melalui cara-cara informal, kita harus menyadari kekuatan dan batasan pendekatan ini.
Reliabilitas. sebagian besar asesmen informal cukup pendek. Misalnya kita mungkin memperhatikan bahwa Naomi tidak berperilaku off-task selama sebuah aktivitas, mungkin mendengar jawaban yang salah dari Manuel terhadap sebuah pertanyaan, atau mungkin melakukan obrolan singkat dengan Jacquie sepulang sekolah. Namun fragmen kecil dari perilaku siswa tersebut tidak selalu menjadi indikator yang baik tentang prestasi dan disposisi mereka secara keseluruhan. Mungkin saat mengamati Naomi dia kebetulan saja berperilaku off-task. Mungkin kita menanyai manuel salah satu dari beberapa pertanyaan dimana dia tidak mengetahui jawaban yang benar. Mungkin kita salah menafsirkan hal yang dikatakan Jacquie sepulang sekolah. Ketika kita menggunakan asesmen informal untuk mengambil kesimpulan tentang apa yang diketahui dan dapat dilakukan siswa, kita harus mendasarkan kesimpulan kita pada berbagai pengamatan selama periode waktu yang panjang. Dari fakta bahwa memori jangka panjang kita tidak pernah sepenuhnya akurat, kita harus selalu mencatat apa yang kita lihat dan kita dengar.
Standarisasi. Asesmen informal kita akan jarang , bila ada, distandarisasi; misalnya, kita akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berbeda untuk sisa-siswa yang berbeda, dan kita barangkali akan mengamati perilaku tiap-tiap siswa dalam konteks yang berbeda. Maka dalam sebagian besar kasus, kita tidak dapat membuat perbandingan yang legitimate diantara para siswa hanya berdasarkan beberapa pengamatan kasual.
Validitas. kalaupun kita melihat konsistensi dalam perilaku siswa sepanjang waktu, perilaku itu mungkin tidak selalu memberi kita data yang akurat tentang apa yang mereka ketahui dan dapat mereka lakukan. Misalnya Tom mungkin sengaja menjawab pertanyaan secara salah agar dia tidak dikenal sebagai siswa yang tahu segalanya, dan Margot mungkin menolak berkata apapun karena mengidap gagap kronis. Secara umum, ketika kita menggunakan pertanyaan di kelas untuk menilai pembelajaran siswa dari kelompok minoritas etnis tertentu, akan bersikap kurang antusias untuk menjawab dibandingkan yang lainnya.
Bias dan ekspektasi pribadi kita juga berpengaruh dalam asesmen informal. Kita sebagai manusia biasanya menetapkan makna pada apa yang kita lihat dan dengar. Yang didasarkan pada hal-hal yang telah kita ketahui atau yakini benar. Misalnya, kita cenderung mengekspektasikan kompetensi akademik atau sosial dari seorang siswa yang kita sukai atau kagumi dan dengan demikian selalu melihat tindakan siswa tersebut dalam kacamata yang terlalu positif, suatu fenomena yang dikenal sebagai halo effect. Dalam cara yang hampir sama, kita mungkin mengekspektasikan perilaku yang tidak sesuai dari siswa yang memiliki riwayat misbehavior, dan karenanya pengamatan kita mungkin menjadi bias, suatu fenomena yang disebut horns effects.
Praktikalitas. Kekuatan terbesar dari asesmen informal adalah Praktikalitas. Asesmen ini tidak membutuhkan banyak waktu (kecuali ketika kita menulis catatan tentang pengamatan kita). Selain itu, asesmen informal cukup fleksibel. Kita dapat menyesuaikan prosedur asesmen kita dengan segera, dengan mengubahnya ketika peristiwa-peristiwa di kelas berubah. Meski demikian, kendati praktis, kita telah mencatat adanya masalah serius berkenaan dengan realbilitas, standarisasi, dan validitasnya. Karenanya, kita harus memperlakukan kesimpulan apapun yang kita ambil hanya sebagai hipotesis yang harus dibenarkan atau disangkal dengan sarana lain. Pada akhirnya, kita harus lebih bergantung pada teknik asesmen formal untuk menentukan apakah siswa kita telah mencapai tujuan pengajaran kita dan telah memenuhi standar isi.
2.        Asesmen Tertulis
Ketika kita harus melakukan asesmen formal, asesmen tertulis biasanya lebih mudah dan lebih cepat. Karena itu juga lebih praktis dibandingkan asesmen performa. Tugas tertulis yang membutuhkan jawaban yang panjang misalnya esei, membuat kita lebih mudah menilai tingkat kemampuan yang lebih tinggi, seperti pemecahan masalah, pemikiran kritis, dan sintesis ide. Meski demikian, jenis item saja tidak memberitahu kita apakah kita menilai kemampuan tingkat tinggi atau tingkat rendah.
Pertimbangan penting dalam memilih tugas tertulis adalah apakah tugas pengenalan atau tugas ingatan memrupakan tujuan dan sasaran pengajaran. Tugas pengenalan (recognition tasks) meminta siswa mengidentifikasi jawaban yang benar dalam konteks pernyataan yang salah atau informasi yang tidak relevan; contohnya termasuk pertanyaan pilihan ganda, benar-salah, dan penjodohan. Tugas ingatan (recall tasks) meminta para siswa memberikan jawaban yang benar menurut mereka sendiri; contohnya mencakup pertanyaan dengan jawaban singkat, esei dan soal cerita. Tugas pengenalan biasanya lebih mudah dibandingkan tugas mengingat karena menyediakan lebih banyak petunjuk untuk membantu pemanggilan kembali (retrieval) informasi yang relevan dari memori jangka panjang.
Ø  Menyusun Instrumen Asesmen
Menulis item-item asesmen tertulis yang baik, khususnya item-item yang menilai kemampuan berpikir tingkat tinggi membutuhkan waktu dan latihan yang lama. Berikut ini kita akan melihat beberapa formatnya:
      Tugas Pengenalan

      Tugas Ingatan
-          Item jawaban-alternatif
-          Item penjodohan
-          Item pilihan ganda
-          Item jawaban singkat
-          Item isian
-          Soal-soal
-          Latihan interpretif
-          Esei


Selanjutnya kita akan mengidentifikasi beberapa panduan umum menyusun instrumen asesmen tertulis.
§   Item Jawaban – Alternatif
Item jawaban alternatif adalah salah satu item dimana hanya ada dua atau tiga kemungkinan jawaban, mungkin benar versus salah atau fakta versus opini. Meski biasanya digunakan untuk menilai pengetahuan akan fakta-fakta terpisah (discrete facts), item-item tersebut juga dapat digunakan untuk menilai keterampilan tingkat tinggi seperti membedakan antara fakta dan opini atau mengidentifikasi hubungan sebab-akibat.
Jika materi pelajaran mudah dinilai dengan cara either-or, pertanyaan jawaban-alternatif memudahkan kita menanyakan banyak pertanyaan dalam waktu singkat dan dengan demikian dapat meningkatkan kemampuan kita mengambil sampel bidang (domain) yang dibicarakan. Meski demikian, tetap perlu diingat bahwa siswa dapat memperoleh banyak jawaban benar hanya dengan menebak. Lebih lanjut, pertanyaan jawaban-alternatif yang baik lebih sulit dari yang mungkin anda kira. Berikut ini beberapa panduannya.
-          Nyatakan kembali ide-ide dengan cara lain; jangan menyajikannya kata demi kata dari sebuah buku teks atau bahan belajar lainnya. Ketika siswa tahu bahwa kita menilai pemahaman yang sebenarnya, bukan ingatan hafalan, mereka cenderung lebih terlibat dalam proses pembelajaran yang efektif saat mereka belajar.

-          Tulislah pernyataan yang mencerminkan satu alternatif atau alternatif lainnya (misalnya pernyataan yang jelas-jelas benar atau salah). Siswa yang pandai seharusnya mampu menjawab setiap pertanyaan dengan pasti. Seharusnya jawabannya bukan sebagian benar sebagian salah. Ketika pertanyaan mengandung kata-kata yang artinya kurang tepat (misalnya terkadang, sering), bahkan siswa terbaik pun harus terpaksa menebak-nebak apa yang kita maksudkan ketika kita menulis pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dan tebakan semacam itu menghasilkan faktor kesalahan (error factor) yang lebih tinggi dalam performa siswa secara keseluruhan, yang malah memengaruhi reliabilitas tes.

-          Hindari penggunaan kata negatif yang berlebihanm khususnya untuk  pernyataan-pernyataan yang salah.  Kutub selatan di dua magnet tidak saling menolak
Dalam sejarah peradaban manusia, awal penjinakan hewan liar tidak berhubungan dengan pola pemukiman manusia.
Apakah pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab? Apakah kata negatif (kata tidak) membingungkan anda? Kata-kata atau prefix negatif dalam pertanyaan-pertanyaan benar-salah (misal: tidak, bukan, tidak pernah) sering membuat siswa bingung, khususnya ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut salah. (kedua pertanyaan diatas adalah salah)
§   Pertanyaan Penjodohan
Pertanyaan Penjodohan menyajikan dua kolom kata, frase, atau data. Siswa harus menjodohkan setiap kalimat di kolom pertama dengan kalimat yang tepat di kolom kedua. Ketika tujuan pengajaran kita melibatkan pengetahuan faktual, pertanyaan penjodohan merupakan cara yang efisien untuk menilainya. Berikut ini dua panduan yang harus diingat saat menyusun pertanyaan-pertanyaan semacam itu:
-          Usahakan agar pertanyaan-pertanyaan di masing-masing kolom bersifat homogen. Pertimbangkan tugas penjodohan dari sebuah tes sejarah dunia berikut ini:

Jodohkan setiap item di sebelah kanan dengan deskripsi di sebalah kiri:
a.       Kapal perang Jerman menenggelamkan kapal-kapal Inggris
b.      Tahun dimana Jepang menyerang Pearl Harbor
c.       Negara yang diinvasi Jerman tahun 1939
d.      Jenderal yang memimpin pasukan Amerika ke Italia

1.      George Patton
2.      The Graf Spee
3.      Polandia
4.      1941

Bahkan sekalipun anda tidak tahu apapun tentang Perang Dunia II, anda seharusnya mampu menjodohkan item-item tersebut dengan mudah. Karena setiap kolomnya hanya memuat satu orang, satu negara, satu tahun, dan satu nama bercetak miring, jawaban yang benar mudah diketahui.
-          Usahakan agar lebih banyak item yang di satu kolom dibandingkan kolom lainnya. Pertimbangkan item penjodohan ini tentang sistem pencernaan manusia:
Jodohkan setiap fungsi dengan komponen sistem pencernaan ketika fungsi itu terjadi. Item di sebelah kanan hanya dapat digunakan sekali:

1.      Produksi enzim disekresikan ke mulut
2.      Mencampurkan makanan dengan enzim pencernaan
3.      Produksi empedu
4.      Produksi insulin
5.      Tempat penyimpanan makanan
a.       Usus besar
b.      Kandung empedu
c.       Perut
d.      Kelenjar air liur
e.       Hati
f.       Usus besar
g.      Pankreas


Disini proses eliminasi tidak berlaku. “perut” adalah pilihan yang benar untuk nomor 2 dan 4, dan tiga kata di sebelah kanan sama sekali bukan jawaban yang benar.
§   Pertanyaan Pilihan Ganda
Pertanyaan Pilihan Ganda terdiri dari pertanyaan atau pertanyaan yang tidak lengkap yang diikuti oleh sekumpulan alternatif. Di sebagian besar kasus, hanya ada satu jawaban yang benar. Alternatif-alternatif lainnya adalah pengalih perhatian (distractors).
Dari berbagai pertanyaan pengenalan yang mungkin kita gunakan, sebagian besar ahli asesmen merekomendasikan pertanyaan pilihan ganda karena dua alasan. Pertama, jumlah item yang dapat dijawab siswa secara benar hanya dengan menebak relatif rendah, terutama jika dibandingkan dengan pernyataan benar-salah dan pertanyaan-pertanyaan jawaban-alternatif lainnya. Kedua, dari semua jenis pertanyaan pengenalan, format pilihan ganda paling siap untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Meski demikian, pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat menilai segala hal. Misalnya, tidak dapat menilai kemampuan siswa mengorganisasikan dan mengekspresikan ide-ide secara jenkoheren dan juga tidak dapat menilai apa yang sesungguhnya akan dilakukan siswa dalam situasi nyata. Jika format pilihan ganda sesuai untuk pengetahuan atau keterampilan yang ingin anda nilai, berikut ini beberapa panduan yang perlu diingat.
-          Sajikan pengalih perhatian (distractor) yang jelas-jelas salah bagi siswa yang mengetahui materi tersebut namun masuk akal bagi siswa yang tidak menguasainya
-          Hindari meletakkan kata negatif di pernyataan dan pilihan jawabannya
-          Jangan terlalu sering menggunakan “semua jawaban di atas benar” atau “tidak ada jawaban yang benar sama sekali”
-          Hindari memberikan petunjuk yang logis mengenai jawaban yang benar

§   Pertanyaan dengan Jawaban Singkat dan Isian
Pertanyaan dengan Jawaban Singkat memberikan pertanyaan yang dijawab dengan satu kata atau satu angka, atau sepasang kalimat. Pertanyaan isian menyajikan kalimat dengan sebuah tempat kosong yang harus diisi siswa. Kedua format tersebut membutuhkan ingatan, namun biasa digunakan untuk menilai keterampilan tingkat rendah. Berikut ini dua panduan yang harus diingat ketika menulis pertanyaan dengan jawaban singkat dan isian.
-          Tetapkan jenis jawaban yang dibutuhkan
-          Untuk pertanyaan isian, masukkan satu atau dua tempat kosong di setiap pertanyaan

§   Soal dan Latihan Intepretif
Dalam sebuah soal, siswa harus memanipulasi atau mensintesiskan data dan mengembangkan sebuah solusi ke situasi soal yang baru. Dalam latihan intepretif, siswa diberi bahan baru (misalnya tabel, gambar, peta, atau paragraf teks) dan diminta menganalisis serta mengambil kesimpulan dari bahan itu. soal-soal dan latihan intepretif seringkali menyertakan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan secara khusus cocok untuk menilai kemampuan siswa mentransfer apa yang telah mereka pelajari ke situasi baru. Soal-soal dan latihan intepretif memakan waktu untuk dikembangkan, namun sepadan bila mendapatkan validitas yang lebih besar dalam menilai tujuan-tujuan pengajaran yang penting. Dua pedoman berikut ini berlaku baik untuk soal-soal maupun latihan intepretif :
-          Gunakan contoh dan situasi baru
-          Masukkan informasi yang tidak relevan

§   Tugas Esei
Sebuah tugas esei mengharuskan siswa menulis jawaban verbal yang panjang. Paling tidak satu paragraf dan mungkin beberapa halaman. Esei terutama berguna ketika kita ingin siswa menunjukkan kemampuan menulis atau menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam format tertulis. Meski demikian, pertanyaan esei memiliki dua keterbatasan serius. Pertama, siswa dapat menjawab hanya sejumlah kecil pertanyaan, sehingga membatasi pengambilan sampel domain isi (dan karenanya membatasi validitas isi). Kedua, penskorannya memakan waktu dan subjektif (sehingga agak tidak reliabel), tertutama ketika pertanyaan membutuhkan jawaban panjang yang relatif tak terstruktur. Panduan-panduan berikut ini dapat membantu memaksimalkan informasi yang didapatkan dari esei siswa sambil pada saat yang bersamaan menjamin validitas dan reliabilitas:
-          Mintalah beberapa esei yang membutuhkan jawaban pendek, bukan satu esei yang membutuhkan jawaban panjang
-          Berilah siswa suatu struktur untuk menjawab
-          Ajukan pertanyaan dengan jawaban yang dapat secara jelas dinilai benar atau salah

§   Panduan Umum Menyusun Asesmen Tertulis
Tanpa mempedulikan jenis pertanyaan yang kita gunakan, kita harus mengikuti beberapa panduan ketika menyusun dan menggunakan instrumen asesmen tertulis:
-          Definisikan tugas dengan jelas dan tidak ambigu
-          Pertimbangkan untuk memberi siswa akses ke materi refrensi tertentu
-          Identifikasilah kriteria penskoran sebelumnya
-          Tempatkan pertanyaan yang lebih pendek dan lebih mudah di awal instrumen asesmen dan tempatkan pertanyaan yang lebih sulit di bagian akhir
-          Tetapkan parameter bagi jawaban siswa

Ø  Menjalankan Asesmen
Kita harus selalu memperhatikan validitas instrumen asesmen tertulis bahkan saat kita menjalankannya dan menskor jawaban siswa. Misalnya kita lebih mungkin mendapatkan indikator yang valid tentang apa yang diketahui dan dapat dilakukan siswa jika kita dapat menjaga kecemasan mereka akan asesmen pada tingkat fasilitatif. Berikut ini tiga strategi tambahan yang dapat meningkatkan validitas hasil kita saat menjalankan sebuah asesmen.
-          Sediakan lingkungan yang tenang dan nyaman
-          Doronglah siswa untuk bertanya ketika tugasnya tidak jelas
-          Ambillah langkah-langkah yang masuk akal untuk mencegah perilaku menyontek

Ø  Menskor Jawaban Siswa
Menskor jawaban siswa terhadap asesmen tertulis seringkali sulit, terutama ketika pertanyaan dan tugas bersifat terbuka. Ketika kita mengevaluasi performa siswa dalam sebuah tugas asesmen, kita harus selalu memperhatikan empat karakteristik RSVP. Selain itu, kita harus ingat bahwa tujuan kita yang paling penting bukan mengevaluasi, melainkan membantu siswa belajar. Masing-masing strategi di bawah ini berharga dalam mencapai tujuan akhir ini.
-          Tentukan kriteria penskoran dalam istilah-istilah yang konkret
-          Kecuali secara spesifik menilai keterampilan menulis, sedapat mungkin skorlah tata bahasa dan ejaan secara terpisah dari isi jawaban siswa
-          Sebelum menskor jawaban siswa, bacalah sekilas jawaban beberapa siswa, dengan mencari jawaban-jawaban yang tak terduga dan memperbaiki kriteria jika diperlukan
-          Nilailah soal per soal, bukan makalah per makalah
-          Berusahalah untuk tidak membiarkan ekspektasi sebelumnya terhadap performa siswa memengaruhi penilaian terhadap performa aktualnya
-          Usahakan agar skor yang kita berikan disertai catatan umpan balik yang terperinci

Ø  Karakteristik RSVP pada Asesmen Tertulis
Reliabilitas. Ketika tugas asesmen tertulis memiliki jawaban benar dan salah yang jelas dan pasti, kita biasanya dapat mengevaluasi jawaban siswa dengan tingkat konsistensi yang tinggi. Sebaliknya ketika kita harus membuat penilaian subjektif tentang kebenaran atau kesalahan relatif dari jawaban siswa, reliabilitas agak berkurang.
Standarisasi. Umumnya isntrumen tertulis mudah distandarisasi. Kita dapat menyajikan tugas dan instruksi yang serupa kepada semua siswa, menyediakan batas waktu dan kondisi lingkungan yang sama, serta menskor jawaban setiap orang dalam cara yang kurang lebih sama. Misalnya, kadang kita mungkin perlu mengizinkan siswa memilih topik tulisan, mungkin sebagai cara untuk meningkatkan perasaan self-determination mereka. Kita mungkin juga perlu menyesuaikan asesmen kita dengan kemampuan dan ketidakmampuan tertentu siswa yang berkebutuhan khusus.
Validitas. Ketika kita mengajukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban singkat dan sederhana (misalnya benar-salah, pilihan ganda dan penjodohan), kita dapat menjadikannya sebagai sampel untuk mengukur pengetahuan siswa tentang berbagai topik dalam periode waktu yang relatif singkat. Maka dalam arti ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat memberi kita validitas isi yang lebih besar. Namun dalam beberapa situasi, item-item tersebut mungkin tidak secara akurat mencerminkan tujuan-tujuan pengajaran kita. Untuk menilai kemampuan siswa kita menerapkan apa yang telah mereka pelajari ke situasi baru atau mengetahui seberapa baik para siswa dapat memecahkan masalah. kita mungkin harus puas dengan beberapa tugas yang membutuhkan jawaban yang panjang, bahkan kalaupun tugas-tugas itu menyediakan sampel domain isi yang agak terbatas.
Praktikalitas. Asesmen tertulis biasanya lebih praktis dibandingkan asesmen performa. Misalnya, asesmen tertulis tidak membutuhkan peralatan yang rumit, hanya kertas dan alat tulis, dan kita dapat menilai dengan mudah pengetahuan serta keterampilan semua siswa pada saat bersamaan. Beberapa instrumen tertulis memiliki keuntungan tambahan, yaitu cepat dan mudah diskor. Karena sangat praktis, asesmen tertulis seharusnya menjadi metode pilihan kita jika asesmen ini dapat memberikan pengukuran yang valid tentang apa yang diketahui dan dapat dilakukan siswa. Namun dalam situasi-situasi dimana tugas tertulis jelas bukan cerminan yang baik tentang apa yang telah dipelajari siswa, kita haarus mengorbankan praktikalitas semacam itu untuk mendapatkan validitas yang lebih besar yang disediakan oleh asesmen performa.
3.        Asesmen Performa
Ada berbagai macam tugas performa yang dapat digunakan untuk menilai penguasaan siswa terhadap materi pelajaran di kelas. Berikut ini beberapa kemungkinannya:
-          Melakukan role-play tentang wawancara pekerjaan
-          Memainkan sebuah alat musik
-          Memperbaiki mesin yang rusak
-          Terlibat dalam perdebatan tentang masalah-masalah sosial
-          Mengidentifikasi zat kimia yang tidak diketahui
Asesmen performa sangat baik khususnya untuk menilai prestasi yang kompleks, seperti prestasi yang melibatkan pengkoordinasian sejumlah keterampilan secara bersamaan. Asesmen performa juga berguna dalam menilai proses kognitif tingkat tinggi seperti pemecahan masalah, kreativitas dan pemikiran kritis. Selain itu, tugas performa seringkali lebih bermakna, merangsang pemikiran, dan otentik. Dengan demikian seringkali lebih memotivasi dibandingkan tugas tertulis.
Ø  Memilih Tugas Performa yang Tepat
Saat menyeleksi tugas untuk sebuah asesmen performa, kita harus dipandu oleh kesimpulan-kesimpulan spesifik yang ingin kita ambil dari performa siswa. Kita juga harus mempertimbangkan apakah suatu tugas tertentu akan memudahkan kita membuat generalisasi yang masuk akal tentang apa yang diketahui dan dapat dilakukan siswa dalam domain isi yang dibicarakan. Mari kita lihat empat distingsi yang dapat membantu kita memilih tugas-tugas yang paling sesuai untuk tujuan kita: hasil versus proses, performa individual versus kelompok, performa terbatas versus diperluas, dan asesmen statis versus dinamis.
§   Hasil versus proses
Beberapa asesmen performa berfokus pada hasil-hasil nyata yang dibuat oleh siswa. Mungkin gambar dengan pensil dan tinta, penemuan ilmiah, atau display poster.  Dalam situasi dimana tidak ada hasil nyata, kita harus melihat pada proses dan perilaku spesifik yang ditunjukkan oleh siswa mungkin memberikan presentasi lisan, memperagakan berguling ke depan (forward roll) atau memainkan sebuah solo instrumental.
Ketika kita lebih melihat proses ketimbang hasil, dalam beberapa kasus mungkin kita tertarik untuk memeriksa proses pemikiran siswa. Misalnya, jika kita ingin menentukan apakah siswa telah mengembangkan beberapa kemampuan operasional konkret atau formal yang digambarkan oleh piaget (misalnya percakapan, pengelompokan majemuk, pemisahan dan kontrol variabel), kita mungkin memberikan tugas yang sama dengan yang digunakan Piaget serta meminta siswa menjelaskan penalaran mereka.
§   Performa individual versus kelompok
Banyak tugas performa mensyaratkan siswa individual untuk menyelesaikannya dengan sedikit atau tanpa bantuan orang lain sama sekali. Tugas-tugas lainnya cukup kompleks sehingga paling baik diselesaikan oleh sekelompok siswa. Misalnya, kita dapat menilai penguasaan siswa SMA tentang satu unit di pelajaran geografi perkotaan dengan menggunakan projek kelompok kooperatif berbasis lapangan seperti berikut ini:
-          pertama , pilih salah satu lingkungan yang ditandai di peta kota
-          kedua, identifikasi ciri terkininya dengan melakukan inventarisasi bangunan, bisnis, perumahan, dan fasilitas publik. Selain itu, identifikasi pola transportasi dan aliran lalu lintas terkini. Dari informasi yang tersedia, identifikasilah masalah khusus yang dialami lingkungan ini, seperti perumahan yang bobrok, kemacetan lalu lintas, atau tingkat kejahatan yang tinggi
-          ketiga, sebagai sebuah kelompok, pertimbangkan berbagai rencana untuk mengubah dan memperbaiki lingkunganmu
Tugas semacam itu mengharuskan siswa mengumpulkan data secara sistematis, menggunakan data untuk mengambil kesimpulan dan membuat prediksi, serta secara umum berpikir sebagaimana seorang perencana tata kota berpikir. Salah satu tantangan dalam menggunakan tugas kelompok untuk tujuan asesmen adalah menentukan bagaimana mengevaluasi kontribusi setiap siswa. Seringkali guru mempertimbangkan perilaku dan pencapaian siswa individual, misalnya apa dan seberapa banyak siswa berkontribusi terhadap usaha kelompok, seberapa banyak siswa belajar di akhir projek.
§   performa terbatas versus diperluas
Beberapa tugas performa cukup singkat; artinya tugas tersebut mencangkup performa terbatas (restriced performance). Misalnya di awal kelas musik instrumental, kita mungkin meminta siswa memainkan skala C mayor untuk memastikan bahwa setiap siswa menguasai skala itu pada instrumennya masing-masing.
Kita menilai performa yang diperluas (extended performance) ketika kita inginnmenentukan apa yang mampu dilakukan siswa dalam beberapa hari atau minggu. Tugas performa yang diperluas mungkin menyediakan kesempatan bagi siswa mengumpulkan data, terlibat dalam pemecahan masalah secara kolaboratif, serta mengedit dan memperbaiki hasil kerja mereka. Banyak tugas performa diperluas memasukkan asesmen otentik: Tugas-tugas performa sangat menyerupai situasi dan masalah yang pada akhirnya mungkin dijumpai siswa di dunia luar. Karena tugas performa yang diperluas membutuhkan banyak waktu, kita harus menggunakannya untuk menilai pencapaian yang terkait hanya dengan tujuan-tujuan pengajaran yang paling penting dan utama.
§   asesmen statis versus dinamis
Apakah tugas tertulis atau tugas performa sebagian besar asesmen berfokus pada mengidentifikasi kemampuan dan pencapaian siswa? Ketika digunakan secara terpisah dari asesmen-asesmen lain, asesmen-asesmen semacam itu mungkin tidak menunjukkan secara spesifik bagaimana siswa belajar dan berubah sepanjang waktu; jadi anda mungkin menganggapnya sebagai asesmen statis. Asesmen statis sejalan dengan konsep tingkat perkembangan aktual dari vygotsky, yang mencerminkan tugas-tugas yang dapat dilakukan sendiri dengan mudah oleh seorang anak.
Dalam beberapa tahun terakhir para teoritikus telah mengusulkan suatu pendekatan alternatif terhadap asesmen performa yang dikenal sebagai asesmen dinamis. Dalam pendekatan ini, alih-alih menemukan apa yang telah dipelajari siswa, seorang guru menilai kemampuan siswanya mempelajari hal baru, mungkin dengan bantuan orang dewasa atau bentuk scaffholding lainnya. Secara khusus, asesmen dinamis melibatkan hal-hal berikut ini:
1.      mengidentifikasi tugas-tugas yang pada awalnya tidak dapat dilakukan sendiri oleh siswa
2.      menyediakan instruksi serta praktek yang mendalam dalam perilaku dan proses-proses kognitif yang terkait tugas
3.      menentukan sejauh mana setiap siswa telah mendapat manfaat dari instruksi tersebut
Pendekatan semacam ini mencerminkan konsep zona perkembangan proksimal dari vygotsky, dan dapat memberi kita ide tentang apa yang dapat diselesaikan siswa dengan struktur dan panduan yang tepat. Karenanya, pendekatan ini lebih cocok untuk evaluasi formatif daripada untuk evaluasi sumatif. Ketika digunakan sebagai alat untuk evaluasi formatif, asesmen dinamis dapat menyediakan banyak informasi kualitatif tentang strategi-strategi kognitif dan pendekatan-pendekatan siswa dalam belajar.
Ø  Merencanakan dan Menjalankan Asesmen
Tiga pedoman yang disajikan sebelumnya untuk asesmen tertulis sama relevannya untuk asesmen performa:
-          Devinisikan tugas secara jelas dan tidak ambigu
-          Identifikasilah sebelumnya kriteria penskoran
-          Doronglah siswa bertanya ketika tugas tidak jelas
Tiga pedoman tambahan di bawah ini berkaitan dengan pelaksanaan asesmen performa.
a.      Pertimbangkan untuk memasukkan asesmen menjadi bagian dari aktivitas pengajaran normal. Jika kita menggabungkan pengajaran dan asesmen menjadi satu aktivitas, kita dapat lebih mengefisienkan waktu kita yang terbatas dengan siswa. Selain itu, siswa cenderung kurang merasakan iklim kelas yang evaluatif dan mengancam; konsekuensinya, mereka mungkin memiliki rasa self-determination yang lebih besar dan lebih bersedia mengambil resiko. Saat memasukkan asesmen-asesmen performa menjadi bagian dari aktivitas pengajaran, kita harus ingat bahwa kita tidak akan mampu sepenuhnya menstandarisasi kondisi bagi semua siswa, dan kita tidak akan melihat hasil kerja terbaik siswa. Selanjutnya, meski memberikan bantuan atau umpan balik kepada siswa selama proses belajar mengajar merupakan tindakan yang tepat, hal tersebut tidak tepat dilakukan selama evaluasi sumatif tentang apa yang telah mereka capai. Karena itu, dalam beberapa situasi kita mungkin perlu melakukan asesmen secara terpisah dari aktivitas belajar-mengajar, mengumumkannya terlebih dahulu, dan memberi siswa panduan lebih awal tentang bagaimana mereka dapat memaksimalkan performa mereka.

b.      Sediakan struktur untuk memandu usaha siswa dalam tugas performa, namun jangan terlalu banyak karena akan mengurangi otentisitas tugas tersebut. Khususnya jika kita melakukan evaluasi sumatif, barangkali harus menstruktur asesmen performa pada tingkat tertentu. Misalnya kita dapat menyediakan arahan yang rinci tentang apa yang harus diselesaikan siswa, bahan dan peralatan apa yang dapat mereka gunakan, serta seberapa banyak waktu yang mereka miliki untuk menyelesaikan pekerjaan itu. struktur tersebut membantu menstandarisasi asesmen itu dan karenanya memudahkan kita mengevaluasi performa siswa secara lebih reliabel. Meski demikian, banyak struktur dapat mengurangi validitas tugas performa. Menetapkan banyak struktur cukup problematis ketika kita bermaksud untuk menjadikan tugas performa sebagai tugas otentik yang menyerupai situasi dunia nyata yang seringkali tidak memiliki banyak struktur. Jadi kita harus sering mengupayankan jalan tengah dengan menyediakan struktur yang cukup untuk memandu siswa dalam arah yang benar namun tidak terlalu banyak karena akan membuat mereka tidak mampu membuat keputusan sendiri tentang cara mewujudkannya.

c.       Rencanakan strategi-strategi pengelolaan kelas untuk aktivitas asesmen. Saat melakukan asesmen performa, kita harus melaksanakan dua prinsip pengelolaan kelas (classroom management) : Guru yang efektif selalu peduli terhadap apa yang dilakukan siswa (konsep whititness) dan mereka memastikan bahwa siswa selalu terlibat secara produktif. Ketika kita dapat menilai hanya beberapa siswa (atau mungkin hanya satu) dalam suatu waktu, kita harus memastikan bahwa siswa-siswa lain terlibat secara aktif dalam aktivitas belajar. Misalnya dalam sebuah kelas bahasa inggris, ketika seorang siswa memberikan presentasi lisan, kita mungkin meminta siswa-siswa lain mencatat topik yang dipresentasikan, fakta yang mereka anggap menarik, ide-ide yang tidak mereka setujui, pertanyaan yang ingin mereka tanyakan.

Ø  Menskor Jawaban Siswa
Misalnya jawaban terhadap tugas-tugas asesmen performa dapat secara objektif; misalnya kita dapat menghitung dengan mudah kesalahan pada tes mengetik atau dapat mengukur waktu siswa dalam lari cepat 100 meter. Namun seringkali kita membuat keputusan subjektif ketika menilai performa siswa. Tidak ada jawaban benar atau salah yang tegas ketika siswa memberi laporan lisan, membuat pahatan tanah liat, atau terlibat dalam perdebatan panas tentang isu-isu kontroversial. Konsekuensinya jika tidak hati-hati, asesmen kita mungkin dipengaruhi oleh ekspektasi kita tentang setiap siswa. Khususnya bagi evaluasi sumatif, kita harus mempertimbangkan secara hati-hati kriteria yang digunakan dalam menilai jawaban siswa dan harus mengembangkan sebuah rubrik yang mengidentifikasi kriteria-kriteria ini. Sebuah rubrik dapat memandu kita selama proses evaluasi; di kemudian hari, rubrik ini dapat berperan sebagai catatan tertulis tentang apa yang telah kita amati. Strategi-strategi berikut ini dapat membantu kita mendesain dan menggunakan rubrik penskoran secara efektif saat melakukan asesmen performa:
-          Ketika menggunakan beberapa kriteria untuk mengevaluasi performa siswa, kembangkan satu atau beberapa ‘checklist’ atau skala nilai untuk membantu penskoran.
-          Putuskan apakah cara penskoran analitis atau bolistik yang lebih baik melayani tujuan anda melakukan asesmen
-          Batasi kriteria penskoran pada aspek-aspek terpenting dari jawaban yang diinginkan
-          Gambarkan kriteria seeksplisit dan sekonkret mungkin
-          Buatlah catatan tentang setiap aspek yang signifikan dari performa siswa yang tidak tercakup dalam rubric

Ø  Karakteristik RSVP dalam Asesmen Performa
Reliabilitas. Mungkin ada beberapa alasan untuk reliabilitas yang rendah di berbagai asesmen performa (L. M. Carey, 1994; Wiley dan Haertel, 1996).  Pertama, siswa tidak selalu berperilaku secara konsisten, bahkan dalam tugas sederhana menembak bola basket, seorang siswa cenderung berhasil di beberapa situasi tapi belum tentu berhasil di situasi yang lain. Kedua, kita terkadang harus mengevaluasi berbagai aspek perilaku kompleks secara agak cepat. Ketiga, konsisten internal tidak cocok untuk perilaku yang kompleks danberdimensi banyak.
Standarisai. Beberapa asesmen performa mudah distandarisasi, namun yang lainnya tidak. Jika kita ingin menilai kemampuan mengetik kita bisa dengan mudah membuat instruksi, tugas dengan memberikan batas waktu yang sama bagi setiap siswa. Sebaliknya, jika kita ingin menilai kreativitas artistik, kita mungkin perlu memberikan kebebasan kepada para siswa tentang bahan yang mereka gunakan dan produk tertentu yang mereka buat. Dalam situasi yang tidak bisa distandarisai seperti itu, sangat penting menggunakan asesmen majemuk (multiple assessments) dan mencari konsistensi pada performa siswa di berbagai situasi.
Validitas. Tugas-tugas asesmen performa terkadang dapat menyediakan indikator yang lebih valid tentang apa yang telah diselesaikan siswa relatif terhadap tujuan-tujuan pengajaran. Para peneliti menemukan bahwa jawaban siswa terhadap sebuah tugas asesmen performa tunggal seringkali bukan merupakan indikasi yang baik tentang pencapaian merekasecara keseluruhan.
Praktikalitas. Asesmen performa sering kurang praktis dibandingkan asesmen-asesmen tertulis tradisional (L. M. Carey, 1994; Hambleton, 1996; Popham, 1995). Menjalankan sebuah asesmen membutuhkan banyak waktu dan peralatan, mungkin juga setiap siswa harus memiliki peralatan pribadi. Karena itulah, kita harus mempertimbangkan secara hati-hati apakah manfaat asesmen performa lebih banyak daripada ketidakpraktisan (Messick, 1994a; Tzuriel, 2000; Worthen dan Leopold, 1992).

2.4 Bagaimana cara melibatkan, mengevaluasi, dan mempertimbangkan proses asesmen siswa di kelas?
2.4.1 Melibatkan siswa dalam proses asesmen
Kita mengetahui bahwa asesmen di kelas merupakan motivator ekstrinsik: Asesmen itu memberikan alasan yang ditetapkan secara eksternal untuk mempelajari pelajaran. Meski demikian, idealnya kita ingin para siswa termotivasi secara intrinsik untuk belajar dan berprestasi di kelas, dan mereka lebih mungkin demikian jika mereka memiliki tingkat self-determination tertentu akan aktivitas- aktivitas kelas. Selanjutnya, jika siswa ingin menjadi pembelajar yang self-regulating, mereka harus memiliki kemampuan self-monitoring dan self-evaluation. Karena alsan-alasan inilah siswa seharusnya menjadi partisipan yang regular dan aktif dalam proses evaluasi performa mereka dalam tugas-tugas asesmen di kelas. Siswa menjadi semakin terlatih dalam self-assessment ketika mereka semakin dewasa (van Kraayenoord & Paris, 1997), namun siswa sekolah dasar pun memiliki kemampuan mengevaluasi performa mereka sendiri. meski demikian, semua siswa khususnya siswa sekolah dasar, dapat menilai sendiri (self-asscess) pekerjaan mereka secara lebih efektif ketika para guru merancah (scaffold) usaha mereka.
Berikut ini strategi-strategi yang berguna untuk melibatkan siswa dalam proses asesmen dan membantu mereka mengembangkan kemampuan self-monitoring dan self-evaluation yang penting :
-          Buatlah agari kriteria ecaluasi eksplisit dan mudah diamati
-          Mintalah ide-ide siswa tentang kriteria evaluasi dan desain rubrik
-          Sedikan contoh hasil kerja yang baik dan yang tidak begitu baik, serta mintalah siswa membandingkannya berdasarkan beberapa kriteria
-          Mintalah siswa membandingkan antara rating yang dilakukan sendiri (self-rating) dan rating yang dilakukan para guru
-          Mintalah siswa membuat catatan tentang performa mereka dan buatlah bagan tentang kemajuan mereka sepanjang waktu
-          Mintalah siswa merefleksikan hasil kerja mereka di jurnal harian atau mingguan, di mana mereka dapat melacak pengetahuan dan kemampuan yang telah dan belum mereka kuasai, dan juga strategi belajar yang sudah dan belum efektif
-          Mintalah siswa mengompilasi portofolio pekerjaan mereka
-          Mintalah siswa menulis pertanyaan-pertanyaan yang bersifat latihan (practice questions) yang mirip dengan pertanyaan-pertanyaan yang ingin mereka lihat nanti dalam kuis dan tes yang akan datang
-          Mintalah siswa memimpin konferensi orangtua

2.4.2   Mengevaluasi Alat Asesmen melalui Analisis Pertanyaan
Kita tidak selalu dapat memprediksi sebelumnya pertanyaan dan tugas mana yang baik dan mana yang buruk. Karena alasan ini, para ahli asesmen sering merekomendasikan analisis pertanyaan (item analysis) setelah melaksanakan dan menskor sebuah asesmen. Analisis tersebut biasanya melibatkan penelitian penelitian baik tentang tingkat kesulitan maupun kekuatan diskriminatif masing-masing item (pertanyaan) pada instrumen asesmen itu.
Kesulitan item dapat menentukan kesulitan setiap item (pertanyaan) dengan menemukan berapa banyak siswa yang menjawabnya secara benar. Kesulitan item (p) sebuah item adalah proporsi siswa yang menjawab secara benar relatif terhadap total jumlah siswa yang mengambil asesmen tersebut:
 
rumus ini menghasilkan angka antara 0.0 dan 1.0. nilai p yang tinggi mengindikasikan bahwa pertanyaan (item) tersebut relatif mudah bagi siswa. Misalnya p .85 berarti 85% siswa menjawabnya dengan benar. Nilai p yang rendah mengindikasikan bahwa pertanyaan tersebut sulit. Misalnya p .10 berarti bahwa hanya 10% siswa yang menjawab dengan benar.
Pada asesmen acuan norma, nilai p menunjukkan item-item mana yang memiliki tingkat kesulitan yang paling baik untuk membandingkan performa siswa-siswa individual. Dalam situasi ini, nilai p yang ideal berada diantara .30 dan .70, yang mengindikasikan bahwa item-item tersebut cukup sulit tapi tidak semua siswa menjawabnya salah. Sebaliknya, ketika hampir semua siswa menjawab sebuah item (pertanyaan) dengan cara yang sama entah secara benar (nilai p sangat tinggi) ataupun salah (nilai p sangat rendah) kita memperoleh sedikit sekali informasi bila ada tentang bagaimana para siswa saling berbeda satu sama lain.
Sebaliknya, tidak ada kesulitan item yang optimal bagi asesmen acuan kriteria. Dalam hal ini, nilai p membantu kita menentukan seberapa efektif kita mencapai tujuan-tujuan pengajaran kita. Nilai p yang rendah memberitahu kita bahwa para siswa belum mempelajari apa yang kita nilai atau bahwa item tersebut tidak mencerminkan secara akurat apa yang telah dipelajari siswa.
Diskriminasi Item, Bayangkan ketika anda baru saja memberikan tes pilihan ganda 30 soal ke kelas anda dan menilai kertas ujian para siswa. Anda melihat bahwa siswa terbaik mengerjakan sebagian besar tes dengan baik, menjawab pertanyaan ke 12 dengan salah. Anda juga memperhatikan bahwa beberapa siswa yang mendapat nilai terendah menjawab pertanyaan ke 12 dengan benar. Ini tidak masuk akal : anda mengekspektasikan bahwa siswa yang bekerja dengan baik di salah satu item sama dengan mereka yang bekerja dengan baik di tes itu secara keseluruhan. Ketika siswa yang “salah” menjawab sebuah pertanyaan dengan benar, artinya ketika pertanyaan tersebut tidak mengidentifikasikan secara akurat siswa yang pandai dan tidak pandai, kita memiliki masalah diskriminasi item (item discrimination)
Untuk menentukan diskriminasi item (D), kita menggunakan pendekatan yang baru saja dijelaskan. Yaitu kita mengidentifikasi dua kelompok siswa, mereka yang memperoleh nilai tertinggi dan mereka yang memperoleh nilai terendah dengan menempatkan sekitar 20-30% total jumlah anggota siswa di setiap kelompok. Kemudian kita membandingkan proporsi siswa di kedua kelompok yang menjawab setiap item dengan benar, seperti ini :
Rumus D menghasilkan angka yang berkisar dari -1.0 hingga +1.0. nilai D positif menunjukkan bahwa lebih banyak siswa yang skornya tinggi (dibandingkan siswa yang skornya rendah) yang telah mengerjakan sebuah item dengan baik; dengan kata lain, item tersebut mendiskriminasikan antara siswa yang paham dan siswa yang tidak paham, persis seperti yang kita inginkan. Sebaliknya nilai D negatif mencerminkan kondisi-kondisi yang serupa dengan situasi pertanyaan ke 12 yang baru saja dijelaskan: siswa yang skornya rendah menjawab pertanyaan dengan benar, namun siswa-siswa yang skornya tinggi tidak. Nilai D negatif seringkali menandakan bahwa ada yang salah dengan pertanyaan tersebut; mungkin pertanyaan ini menjebak para siswa yang paham untuk memilih apa yang menjadi jawaban salah atau mungkin kita telah menandai jawaban yang salah pada kunci jawaban.
Mari kembali ke asumsi yang kita buat pada contoh pertanyaan ke 12: Para siswa yang bekerja dengan baik secara keseluruhan. Disini kita berbicara tentang reliabilitas konsistensi internal, sejauh mana bagian-bagian yang berbeda dalam instrumen penelitian semuanya mengukur hal yang kurang lebih sama. Namun ketika item-item atau tugas pada sebuah instrumen asesmen semuanya dirancang untuk mengukur hal yang sangat berbeda, seperti biasa terjadi dalam asesmen performa, nilai D kurang membantu dalam mengevaluasi efektivitas sebuah item.
2.4.3   Mempertimbangkan Keberagaman Siswa dalam Asesmen di kelas
Standarisasi instrumen dan prosedur asesmen penting bagi fairness, reliabilitas dan validitas (secara tidak langsung) dalam hasil-hasil asesmen. Namun standarisasi memiliki kelemahan : standarisasi membatasi kemampuan mengakomodasi latar belakang dan kebutuhan siswa yang berbeda-beda, memanfaatkan kekuatan individual mereka, serta membantu mereka mengimbangi area-area yang menjadi kelemahan.
Standarisasi dalam praktik asesmen di kelas sangat penting jika dengan alasan tertentu, harus membandingkan performa seorang siswa dengan performa siswa-siswa lainnya. Meski demikian, di banyak situasi lainnya, misalnya ketika kita mencoba memastikan pijakan awal yang tepat bagi instruksi atau kelemahan-kelemahan khusus yang harus diatasi oleh setiap siswa, standarisasi kurang diperlukan. Dalam beberapa contoh, kita mungkin menemukan bahwa cara terbaik menilai pembelajaran seorang siswa adalah cara yang relatif tidak efektif untuk menilai pembelajaran siswa-siswa lainnya.
Di bagian-bagian selanjutnya, kita akan melihat dua area perbedaan individual, kecemasan akan tes dan testwiseness serta berbagai macam perbedaan kelompok yang dapat memengaruhi performa siswa dalam asesmen di kelas.
§  Kecemasan akan Tes
Sebagian besar siswa sedikit cemas akan tes dan asesmen-asesmen penting lainnya, dan kecemasan dalam kadar yang kecil sebenarnya dapat meningkatkan performa. Namun beberapa siswa menjadi sangat cemas dalam situasi-situasi asesmen. Mereka mengalami kecemasan akan tes (test anxiety) sampai pada titik dimana nilai mereka menurun secara signifikan, tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya telah mereka pelajari. Siswa-siswa tersebut tampaknya peduli terutama dengan aspek evaluatif asesmen, dan khawatir bahwa mereka akan terlihat “bodoh” atau tidak mampu di mata orang lain (misalnya guru). Kecemasan akan tes tidak hanya mengganggu pemanggilan (retrieval) dan performa pada saat asesmen berlangsung, tetapi juga mengganggu pengkodean dan penyimpanan ketika siswa mempersiapkan diri untuk asesmen. Jadi siswa yang memiliki kecemasan yang tinggi akan tes tidak hanya mengerjakan tes itu dengan buruk, tapi mereka juga belajar dengan buruk.
Kecemasan akan tes jarang terjadi di kelas-kelas awal namun meningkat di sepanjang masa sekolah dasar. Kecemasan akan tes lazim terjadi pada siswa dari kelompok minoritas, siswa dari keluarga berpenghasilan rendah dan siswa yang mengalami hambatan khusus/cacat. Rata-rata siswa dengan kecemasan tes yang tinggi adalah mereka yang memiliki prestasi yang rendah di sekolah pada masa lalu. Karena itu, strategi yang penting untuk membantu para siswa mengatasi kecemasan yang berlebihan terhadap tes adalah membantunya mendapatkan keterampilan yang mereka perlukan untuk menguasai materi pelajaran di saat-saat awal.
Kita tidak perlu berusaha menghilangkan sama sekali kecemasan akan tes, melainkan hanya perlu menjaganya pada tingkat fasilitatif. Untungnya, kita memiliki kendali yang memadai terhadap bagaimana kita melaksanakan instrumen kita sendiri di kelas. Membedakan antara praktik-praktik asesmen di kelas yang cenderung menghasilkan kecemasan yang membantu (facilitating anxiety) dan praktik-praktik asesmen yang mendatangkan kecemasan yang merugikan (debilitating anxiety)
§  Testwiseness
Testwiseness mencakup strategi-strategi berikut ini :
-          Menggunakan waktu secara efisien. Misalnya mengalokasikan waktu yang cukup untuk setiap tugas dan melewatkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dikerjakan di bagian akhir
-          Menghindari kekurangcermatan. Misalnya memeriksa jawaban untuk kedua kalinya dan menghapus bekas pensil yang tidak tepat di lembar jawaban yang diskor dengan mesin komputer
-          Penalaran Deduktif. Misalnya menghapus dua alternatif yang menyatakan hal yang sama dan menggunakan informasi dari sebuah pertanyaan untuk menjawab pertanyaan lainnya
-          Menebak. Misalnya menghapus alternatif-alternatif yang salah dan kemudian menebak salah satu jawaban lainnya atau menebak secara acak jika waktunya telah habis dan tidak ada hukuman atas tebakan tersebut
Namun harus kita ingat bahwa banyak siswa khususnya siswa yang lebih muda dan yang sekolahnya sebelumnya memiliki kebudayaan yang berbeda, mungkin kurang berpengalaman dengan format-format asesmen seperti pertanyaan benar-salah atau pilihan ganda. Dalam beberapa contoh, kita mungkin mampu membuat tugas asesmen kita di kelas serupa dengan tugas yang telah diambil sebelumnya oleh siswa. Namun ketika hal ini tidak memungkinkan atau tidak sesuai, kita harus memberi siswa latihan yang banyak dengan pertanyaan tes atau tugas-tugas performa yang kita gunakan.


BAB III
PENUTUPAN

3.1     Kesimpulan
Dari pendapat dan penjelasan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebelumnya kita harus tahu mengapa kelas harus dikelola. Pertama, isu manajemen pada kelas-kelas di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Kedua, kelas yang padat, kompleks, dan berpotensi kacau-balau. Ketiga, memulai awal yang baik. Keempat, menekankan pembelajaran dan suasana kelas yang positif. Kelima, tujuan dan strategi manajemen. Yang harus diperhatikan yaitu merancang lingkungan fisik kelas dan menciptakan lingkungan yang positif untuk pembelajaran. Kemudian cara menciptakan lingkungan belajar yang produktif yaitu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar dan menyikapi perilaku yang tidak sesuai, Strategi-strategi asesmen di kelas yang baik juga sangat penting. Ada poin-poin pentingnya seperti beragam bentuk asesmen pendidikan, fungsi asesmen untuk berbagai tujuan, asesmen informal, asesmen tertulis, dan asesmen performa. Ada juga bagaimana cara melibatkan siswa dalam proses asesmen, mengeveluasi alat asesmen melalui analisi pertanyaan, mempertimbangkan keberagaman siswa dalam asesmen kelas.
3.2 Saran                                                          
1. Pengajar atau guru lebih tepat memilih dan menggunakan strategi belajar agar proses pembelajaran berjalan dengan baik dan lancar.
2.    Pengelolaan kelas dan lingkungan belajar diharapkan lebih di perhatikan agar siswa nyaman, tidak merasa bosan dan ikut aktif dalam proses pembelajaran.
3.  Pengajar atau guru juga harus memberikan umpan balik kepada siswa-siswanya. Agar siswa antusias dan termotivasi dalam pembelajaran.
4. Pengajar atau guru perlu menilai dan mengevaluasi cara mengajarnya maupun performa siswa-siswanya dalam pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Santrock, John W. 2011:251. Psikologi Pendidikan. Jakarta:Salemba Humanika.
Ormrod, Jeanne Ellis. 2009:210. Psikologi Pendidikan. Jakarta:Erlangga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar