Entri Populer

Rabu, 27 Juni 2012

Prasangka Princess Terhadap Kedua Siswi Pindahan

Ø  Contoh Kasus

Dalam sebuah Sekolah Menengah Atas, terdapat sekelompok siswi yang terdiri dari siswi-siswi yang cantik, fisiknya sangat bagus, tergabung dalam satu anggota tim basket putri di sekolah tersebut. Sekelompok siswi yang disebut princess ini sangat disegani oleh siswa-siswi yang lain, karena mereka mempunyai pengaruh yang besar di sekolah. Selain karena fisik dan peran mereka di sekolah, orang tua mereka juga tergolong ke dalam orang yang berpengaruh bagi sekolah.
            Suatu hari ada dua siswi pindahan dari sekolah lain, mereka memang tergolong ke dalam siswi yang fisiknya kurang mendukung (gemuk, hitam, kumuh/dekil, dan tidak cantik). Ketika kedua siswi tersebut masuk ke dalam kelas, Princess langsung berperilaku tidak sopan seperti meledek, dan tidak merasa senang satu kelas dengan dua siswi pindahan tadi. Setiap kedua siswi pindahan tersebut mendapat nilai yang lebih bagus dari Princess, Princess berpikiran bahwa itu karena kedua siswi tadi hanya beruntung. Dan ketika kedua siswi tersebut pernah mendapat juara karawitan, Princess menganggap hal tersebut sebagai upaya untuk menjadi popular di sekolah mereka. Sifat baik yang ditunjukkan kedua siswi itu kepada anggota Princess dianggap hanya sebagai usaha untuk mencari muka dihadapan mereka. Princess juga tidak pernah mau kalau dekat dengan kedua siswi tersebut karena beranggapan bahwa jika dekat dengan kedua siswi itu akan terkena sial dan tertular penyakit, sebab kedua siswi tersebut berpenampilan kumuh. Tidak ada yang mau berteman dengan kedua siswi pindahan tersebut karena Princess juga tidak mau berteman dengan mereka.


Ø  Analisis Kasus

            Berdasarkan deskripsi kasus di atas, bisa kita lihat bahwa Princess tersebut sudah berprasangka negatif terhadap siswi pindahan itu, seperti yang dikemukakan oleh Baron & Byrne bahwa “Prasangka adalah sikap (biasanya negatif) kepada anggota kelompok tertentu yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok.” Sebagai suatu sikap berprasangka negatif, komponen yang mendasari mereka bersikap demikian yaitu sebagai berikut:
1. Komponen kognitif, dari komponen ini stereotip yang ditunjukkan oleh Princess adalah dalam bidang kepribadian yang baik dari kedua siswi itu. Princess menganggap fisiknya kurang mendukung (gemuk, hitam, kumuh/dekil, dan tidak cantik) adalah hal yang paling buruk bagi mereka dan hanya menanggap kepribadian yang baik tersebut hanya sebagai bentuk pencarian muka saja, bukan karena mereka benar-benar baik.
2. Komponen afektif, dalam komponen ini prasangka negatif sudah muncul saat pertama melihat kedua siswi tersebut masuk sekolah karena melihat fisik kedua siswi tersebut yang jauh berbeda dari mereka, perasaan tidak suka dengan spontan mereka tunjukkan walaupun belum mengenal kedua siswi tersebut lebih dalam lagi.
3. Komponen konatif, sebagai salah satu komponen dasar sikap dalam hal ini respon yang ditunjukkan Princess adalah negatif sehingga Princess berusaha untuk menjauhi kedua siswi tersebut sebagai perwujudan dari prasangka negatif.
           
            Ada beberapa faktor yang mendasari prasangka negatif Princess terhadap kedua siswi tersebut yaitu: Pertama, stereotip, kesan sebagai wujud dalam stereotip ini adalah kesan negatif terhadap kepribadian baik yang dimiliki kedua siswi tersebut dan terhadap fisik mereka yang kurang mendukung (gemuk, hitam, kumuh/dekil, dan tidak cantik). Kedua, jarak sosial, dilihat dari sikap Princess yang tidak mau berbagi, tinggal dalam satu kelas yang sama, dan bekerja bersama menunjukkan bahwa jarak sosial diantara mereka sangat terlihat sekali. Ketiga, diskriminasi, perilaku penolakan ini ditunjukkan secara nyata oleh Princess dengan keinginan mereka untuk berteman dengan kedua siswa tersebut. Dari ketiga faktor tersebut sudah jelas bahwa Princess berprasangka negatif terhadap kedua siswi itu.

            Ciri-ciri prasangka yang ditunjukkan oleh Princess yaitu:
1. Proses generalisasi terhadap perbuatan kedua siswi tersebut.
2. Penilaian ekstrim terhadap kedua siswi, penilaian disini adalah negatif. Kedua siswi tersebut dianggap sebagai pembawa sial dan penyakit menular, serta kebaikannya dianggap sebagai kebohongan belaka.
3. Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu, Princess berkeyakinan bahwa orang yang fisiknya kurang mendukung (gemuk, hitam, kumuh/dekil, dan tidak cantik) adalah hal yang buruk dan tidak pantas jika ada teman seperti itu dijadikan teman, apalagi terlihat kumuh seperti kedua siswi tersebut.
4. Agresi, agresi yang ditunjukkan Princess terhadap kedua siswi itu adalah agresi verbal dan langsung seperti meledek mereka.
5. Dogmatisme, Princess menganggap kelompok mereka yang paling baik dan benar karena mereka merupakan sekelompok siswi yang berpengaruh dan disegani di sekolah itu.

Prasangka negatif Princess terhadap kedua siswi tersebut tergolong ke dalam prasangka social.
Sumber prasangka sosial yang dilakukan oleh Princess sebagai berikut:
1.      Ketidaksetaraan Sosial, ketidaksetaraan sosial ini berasal dari status dan prasangka. Status Princess sebagai sekelompok siswi yang popular dan perfect, serta berpengaruh besar di sekolah, sedangkan kedua siswi tersebut statusnya sebagai siswi pindahan dan fisiknya kurang mendukung (gemuk, hitam, kumuh/dekil, dan tidak cantik) merupakan suatu perbedaan yang menyebabkan prasangka sosial negatif.
2.      Identitas Sosial, Princess tergolong pada in group sedangkan yang lain adalah out group. Identitas ini yang sangat memicu prasangka sosial negatif terhadap kedua siswi itu yang tergolong ke dalam out group.
3.      Konformitas, Princess berprasangka negatif terhadap kebaikan yang dilakukan oleh kedua siswi tersebut. Princess meyakini bahwa mereka seperti itu karena paksaan keadaan seperti ingin menarik simpati terhadap mereka karena tidak ada yang mau berteman dengan mereka kalau Princess tidak mau berteman dengan mereka.

Teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan prasangka dalam kasus ini sebgai berikut:

1. Teori Kognitif
Jika dilihat dalam teori kognitif, prasangka negatif dijelaskan dari sisi Princess yang berusaha mengembangkan kesan yang terstruktur mengenai kedua siswi tersebut dengan cara melakukan proses kategorisasi. Kategorisasi yang dilakukan terhadap kedua siswi tersebut adalah berdasarkan fisik mereka dan status mereka sebagai siswi pindahan. Dalam teori atribusi, proses atribusi yang dilakukan Princess ketika melihat kedua siswi tersebut berperilaku positif digolongkan sebagai berikut:
• Nasib baik atau keberuntungan istimewa (luck or special advantage)
Ketika Princess melihat kedua siswi mendapat nilai yang lebih baik dari mereka, maka mereka akan mempersepsikan hal tersebut bukan sebagai potensi yang kedua siswi tersebut miliki, namun hanya sebagai keberuntungan saja.
• Konteks situasional
Princess melihat kedua siswi berperilaku baik terhadap mereka, maka mereka akan mempersepsikan hal tersebut karena dipengaruhi oleh faktor paksaan situasi (konformitas) karena tidak ada yang ingin berteman dengan mereka apabila Princess tidak mau berteman dengan mereka, jadi bukan disebabkan kepribadian mereka yang baik.  
• Usaha dan motivasi yang tinggi
Princess melihat kedua siswi mendapat juara karawitan, maka mereka akan mempersepsikan hal tersebut sebagai usaha dan motivasi kedua siswa tersebut untuk mencapai kesuksesan dan popular di sekolahnya, bukan karena kemampuannya dibidang tersebut.
• In group dan out group
Princess yang menggap diri mereka sebagai in group, namun in group ini menjadi benar-benar bias. Hal itu disebabkan karena mereka hanya membanggakan diri mereka yang sangat disegani karena fisik, prestasi di bidang basket dan kekuasaan yang dimiliki mereka dan orang tua mereka, sehingga tidak melihat kelebihan yang dimiliki kedua siswi tadi (out group).  

2. Teori Perbandingan Sosial
            Dalam teori perbandingan sosial, perbedaan yang mencolok terlihat sekali dalam kasus ini. Perbedaan tersebut yang mendasari prasangka negatif itu. Princess membandingkan diri mereka dengan kedua siswi tersebut dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. Hal demikian yang membuat prasangka negatif tersebut terjadi. Segala yang mereka bandingkan menjadi sesuatu yang sangat merugikan bagi kedua siswi tersebut, karena dengan adanya perbandingan itu prasangka negatif Princess berpengaruh kepada siswa-siswi yang lainnya.

3. Teori Belajar Sosial
            Prasangka adalah sesuatu yang dipelajari seperti halnya individu belajar nilai-nilai sosial yang lain. Prasangka negatif Princess terhadap kedua siswi tersebut juga dipelajari dari menginternalisasikan norma-norma mengenai stereotipe dan perilaku antar kelompok tersebut yang di peroleh dari orang tua mereka yang juga terlalu stereotip dalam menilai orang. Tidak hanya dari orang tua mereka saja, tetapi dari teman, dan media massa juga sangat mempengaruhi mereka dalam menilai kedua siswi tersebut yang menyebabkan terjadinya prasangka negatif.

Dalam kasus ini upaya mencegah atau mengurangi agar siswa-siswi tidak berprasangka negatif terhadap siswa-siswi yang lain yaitu sebagai berikut:
1. Melalukan kontak langsung karena kedudukan keduanya berstatus sama sebagai siswi di sekolah tersebut.
2. Mengajarkan pada siswa-siswi untuk tidak membenci, tidak saling merendahkan, tidak bersikap hiuristik terhadap teman, menjalin hubungan yang baik, dan sikap kekeluargaan harus dijaga.
3. Mengoptimalkan peran orang tua, guru, individu dewasa yang dianggap penting oleh siswa-siswi dan media massa untuk membentuk sikap menyukai atau tidak menyukai melalui contoh perilaku yang ditunjukkan (reinforcement positive). Misalnya dengan menunjukkan perilaku saling menghargai, membantu, dan menyayangi sebagai teman.
4. Menyadarkan siswa-siswi untuk belajar membuat perbedaan tentang siswa-siswi lain, yaitu belajar mengenal dan memahami siswa-siswi lain berdasarkan karakteristiknya yang unik, tidak hanya berdasarkan keanggotaan dalam kelompok tertentu.

PRASANGKA (Prejudice)

Ø  Definisi prasangka

            Secara terminologi, prasangka (prejudice) merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin. Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan (Hogg, 2002). Prasangka adalah sikap (biasanya negatif) kepada anggota kelompok tertentu yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok (Baron & Byrne, 1991).

Ø  Komponen-komponen prasangka

           Prasangka mempunyai tiga komponen dasar yaitu kognitif, afektif, dan konatif (Mann dalam Azwar 2003), yaitu:
a. Komponen kognitif
b. Komponen afektif
c. Komponen konatif

Ø  Faktor-faktor Prasangka

Menurut Poortinga (1990) prasangka memiliki tiga faktor utama yakni:
1.      Stereotip, stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993).
2.      Jarak sosial, jarak sosial adalah suatu jarak psikologis yang terdapat diantara dua orang atau lebih yang berpengaruh terhadap keinginan untuk melakukan kontak sosial yang akrab.
3.      Diskriminasi, diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok (Sears, Freedman & Peplau,1999). 

            Ketiga faktor itu tidak terpisahkan dalam prasangka. Stereotip memunculkan prasangka, lalu karena prasangka maka terjadi jarak sosial, dan setiap orang yang berprasangka cenderung melakukan diskriminasi. Jadi, diskriminasi juga bisa dikatakan sebagai perwujudan prasangka yang di aplikasikan kepada bentuk perilakunya.

Ø  Ciri-ciri Prasangka

          Ciri-ciri dari prasangka sosial berdasarkan penguatan perasaan in group dan out group adalah:
1. Proses generalisasi terhadap perbuatan anggota kelompok lain.
2. Kompetisi sosial.
3. Penilaian ekstrim terhadap anggota kelompok lain.
4. Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu.
5. Perasaan frustasi (scope goating).
6. Agresi antar kelompok.
7. Dogmatisme.

Ø  Sumber Prasangka

1.      Prasangka Sosial
a)      Ketidaksetaraan Sosial
b)      Identitas Sosial
c)      Konformitas

2.      Prasangka secara Emosional.
a)      Frustasi dan Agresi Rasa sakit sering membangkitkan pertikaian.
b)      Kepribadian yang dinamis Status.
c)      Kepribadian Otoriter.

Ø  Teori-teori Prasangka

1. Teori Kognitif
Teori kognitif menjelaskan bagaimana cara individu berpikir mengenai prasangka (objek yang dijadikan sasaran untuk diprasangkai) dan bagaimana individu memproses informasi dan memahami secara subjektif mengenai dunia dan individu lain.
Menurut teori atribusi, prasangka disebabkan oleh individu sebagai pengamat melakukan atribusi yang “bias” terhadap target prasangka.
• Kasus yang terkecuali (exceptional case)
• Nasib baik atau keberuntungan istimewa (luck or special advantage)
• Konteks situasional
• Usaha dan motivasi yang tinggi
• In group dan out group
2. Teori Perbandingan Sosial
            Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan kelompok kita dengan kelompok lain. Hal-hal yang dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. 
3. Teori Biologi
            Menurut pendekatan ini prasangka memiliki dasar biologis. Hipotesisnya adalah bahwa kecenderungan untuk tidak menyukai kelompok lain dan hal-hal lain yang bukan milik kita merupakan warisan yang telah terpetakan dalam gen kita.
4. Teori Deprivasi Relatif
            Deprivasi relatif adalah keadaan psikologis dimana seseorang merasakan ketidakpuasan atas kesenjangan atau kekurangan subjektif yang dirasakannya pada saat keadaan diri dan kelompoknya dibandingkan dengan orang atau kelompok lain.
5. Teori Konflik-realistis
            Teori ini memandang bahwa terjadinya kompetisi (biasanya persaingan memperoleh sumber-sumber langka, seperti ekonomi dan kekuasaan) dan konflik antar kelompok dapat meningkatkan kecenderungan untuk berprasangka dan mendiskriminasikan anggota out group.
6. Teori Psikodinamika
            Menurut teori psikodinamika, prasangka adalah agresi yang dialihkan. Pengalihan agresi terjadi apabila sumber frustasi tidak dapat diserang karena rasa takut dan sumber frustasi itu benar-benar tidak ada.
a. Teori Frustasi-agresi
b. Kepribadian Otoriter
        
7. Teori Belajar Sosial
            Menurut teori belajar sosial, prasangka adalah sesuatu yang dipelajari seperti halnya individu belajar nilai-nilai sosial yang lain. Prasangka biasanya diperoleh anak-anak melalui proses sosialisasi.

Ø  Mengurangi dan Mencegah Prasangka

Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan mencegah timbulnya prasangka, yaitu :

1. Melalukan kontak langsung
2. Mengajarkan pada anak untuk tidak membenci
3. Mengoptimalkan peran orang tua, guru, individu dewasa yang dianggap penting oleh anak dan media massa untuk membentuk sikap menyukai atau tidak menyukai melalui contoh perilaku yang ditunjukkan (reinforcement positive).
4. Menyadarkan individu untuk belajar membuat perbedaan tentang individu lain, yaitu belajar mengenal dan memahami individu lain berdasarkan karakteristiknya yang unik, tidak hanya berdasarkan keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu.